tag:blogger.com,1999:blog-89861056930590238112024-03-13T08:54:42.015-07:00Pendongeng di Negeri DongengBerpetualang ke Negeri Dongeng
Berlayar ke Alam MimpiPendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.comBlogger31125tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-38249807710704544632009-06-24T00:19:00.000-07:002009-06-24T00:22:30.254-07:00PENGEMIS DAN PUTRI RAJA<span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Tersebutlah seorang putri raja yang cantik jelita. Karena bergelimang harta, Sang Putri mempunyai sifat buruk. Ia selalu menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Sedangkan Sang Raja tak pernah menolak kemauan putrinya.Salah satu kegemaran Sang Putri adalah mengumpulkan perhiasan dari intan permata. Ia sudah memiliki berlaci-laci perhiasan dari berbagai negeri.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Suatu saat Raja mengajak Sang Putri berkeliling kota. Setelah singgah di berbagai tempat, mereka berhenti di depan bangunan indah. Di depan bangunan itu terdapat air mancur. Sang Putri sangat terpesona dengan air mancur yang elok itu. Air mancur itu memancarkan butir-butir air yang sangat indah. Karena terkena sinar matahari, butiranbutir air itu memancarkan cahaya kemilau bak intan permata. Sang Putri semakin terpesona.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Sepulang dari perjalanan, Sang Putri minta dibuatkan air mancur di depan istana. Raja mengabulkan permintaan itu. Maka berdirilah air mancur nan megah seperti keinginan Sang Putri. Bukan main gembiranya Sang Putri. Tiap hari ia memandangi air mancur itu.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Suatu hari ketika Sang Putri duduk di pinggir air mancur itu, jari manisnya kejatuhan air mancur. Butiran air itu menjalar melingkari jari manis Sang Putri laksana cincin. Begitu tersinari matahari, lingkaran air itu memancarkan cahaya bak cincin permata. Sang Putri berdecak kagum. Ia berlari menemui Sang Raja.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Ayahanda, saya ingin dibuatkan cincin permata dari butiran air," pinta Sang Putri.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Raja tak kuasa menolak keinginan putrinya. Segera Sang Raja memerintahkan abdi kerajaan mencari ahli permata.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Datanglah seorang ahli permata. Raja lalu menceritakan keinginan putrinya. Sang ahli permata mendengarkan dengan seksama.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Ampun, Baginda. Hamba baru kali ini mendapatkan permintaan seperti itu. Hamba minta waktu untuk memikirkannya," kata ahli permata. Ia tampak kebingungan.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Kalau begitu, kuberi waktu dua hari. Tapi, kalau gagal, penjara telah menantimu!" tukas Sang Raja.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Dua hari kemudian, ahli permata itu datang untuk memberitahu bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan Sang Putri. Sesuai perjanjian, ahli permata itu dijebloskan ke penjara. Kemudian Sang Raja memerintahkan mencari ahli permata lain. Tapi, beberapa ahli permata yang datang ke istana mengalami nasib serupa dengan ahli permata pertama.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Raja sudah putus asa. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi demi putri kesayangannya. </span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Sementara itu, Sang Putri terus menuntut agar permintaannya dikabulkan. Tiba-tiba seorang pengemis tua terbungkuk-bungkuk mendatangi istana.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Kamu ahli permata?" sergah Sang Raja.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Bukan, Baginda. Hamba hanya seorang pengemis. Tapi, mengapa Baginda menanyakan ahli permata?" Si Pengemis balik bertanya.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Lalu Sang Raja bercerita tentang keinginan putrinya.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Izinkan hamba mencobanya, Baginda," ujar Si Pengemis kemudian.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Awas, kalau gagal, penjara tempatmu!" ancam Sang Raja.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Si Pengemis kemudian memanggil Sang Putri.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Tuan Putri, tolong bawa butiran air itu kemari!" pinta Si Pengemis kepada Sang Putri seraya menunjuk air mancur di depan istana.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Sang Putri menuruti saja perintah Si Pengemis karena ia sudah tak sabar memiliki cincin yang diidamkannya. Begitu berada di sisi air mancur ia menengadahkan tangannya. Sebutir air jatuh tepat di atas telapak tangannya. Cepat-cepat ia bawa butiran itu ke pengemis.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Tapi, sebelum sampai ke pengemis, butiran air itu menguap habis. Sang Putri mengulanginya. Kini ia berlari. Namun apa daya, tetap saja ia tak mampu membawa butiran air. Memang hari itu sedang sangat panas sehingga membuat butiran air cepat menguap.</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Dan ini memang siasat Si Pengemis, ia datang pada saat cuaca panas.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">"Kalau butiran airnya tidak ada, bagaimana hamba bisa mengabulkan permintaan Sang </span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Putri?</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Saya kira tak seorang pun mampu membuat cincin kalau bahannya tidak ada. Hamba khawatir Tuan Putri yang cantik dan pintar ini akhirnya mendapat julukan putri bodoh karena menginginkan sesuatu yang tak ada."</span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;"><br /></span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Sesudah berkata demikian, Si Pengemis dengan tenang meninggalkan istana. </span></span><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Apa yang dikatakan Si Pengemis sangat menyentuh hati Sang Putri. Sang Putri menyadari kekeliruannya. Lalu ia meminta Raja membebaskan semua ahli permata. Seluruh perhiasan intan permata yang dimiliki Sang Putri dibagikan kepada ahli permata sebagai ganti rugi.</span></span></p><p><span style="font-family:courier new;"><span style="color:#663333;">Sejak saat itu Sang Putri hidup sederhana dan tidak pernah minta yang bukan-bukan.</span></span><br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-40446509434053121532009-06-24T00:18:00.000-07:002009-06-24T00:19:12.860-07:00PENCULIKAN TABIB ISTANA<div align="justify"><span style="color:#336666;"><span style="font-family:courier new;">Tabib Akhsay sudah lebih sepuluh tahun menjadi tabib istana. Cara pengobatannya dengan ramuan obat yang sederhana telah berulang kali menyembuhkan penyakit keluarga istana. Itu sebabnya berita hilangnya Tabib Akhsay dari rumahnya membuat seisi istana cemas.<br /><br />Patih Rangga segera dititahkan Baginda Raja untuk mencari ke mana hilangnya Tabib Akhsay. Begitu mendapat kepercayaan itu segera saja Patih Rangga menuju rumah Tabib Akhsay. Ditemuinya Radev di dalam rumah itu. Patih Rangga mengenal Radev sebagai asisten Tabib Akhsay.<br /><br />"Ceritakan padaku, kapan terakhir kamu melihat Tabib Akhsay?" tanya Patih Rangga menyelidik.<br /><br />"Kemarin siang Tabib Akhsay memberitahu saya hendak mencari beberapa daun untuk ramuan obat. Tabib Akhsay pergi ke selatan menuju Danau Perak. Ada beberapa daun yang hanya dapat ditemukan di sana," tutur Radev yang masih belia.<br /><br />Patih Rangga memutuskan untuk menelusuri jejak hilangnya Tabib Akhsay. Dengan menunggang kuda ia segera menuju ke selatan. Setiap tiba di satu kampung Patih Rangga berhenti sebentar menanyakan perihal Tabib Akhsay.<br /><br />"Ya, kami pernah melihatnya kemarin. Ia menunggang kuda menuju selatan," kata penduduk kampung pertama yang Patih Rangga tanyai. Jawaban serupa juga diberikan penduduk pada beberapa kampung berikutnya. Sampai kampung ke lima, para penduduknya memberi jawaban yang berbeda.<br /><br />"Tidak. Kami tidak melihat Tabib Akhsay melewati kampung kami. Biasanya Tabib Akhsay berhenti dulu di kampung ini bila hendak menuju Danau Perak karena inilah kampung terakhir menuju Danau Perak," kata kepala kampung.<br /><br />Patih Rangga mengerutkan keningnya sebentar. Berarti Tabib Akhsay hilang antara kampung ke empat dan ke lima. Memang ada hutan kecil yang memisahkan dua kampung itu. Patih Rangga memutuskan untuk kembali ke hutan kecil itu. Ia tidak menolak ketika kepala kampung kelima menawarkan seorang penduduk yang mahir melacak jejak untuk menemaninya. Setibanya di hutan kecil dari kejauhan Patih Rangga melihat kuda putih milik Tabib Akhsay. Bersama Ranjit yang menemaninya, Patih Rangga menghampiri kuda putih itu. Sementara Ranjit mengamati jejak yang tertinggal di tanah.<br /><br />"Patih Rangga, menurut saya Tabib Akhsay telah diculik oleh penduduk kampung Kaki Besar," kata Ranjit kemudian.<br /><br />"Kampung Kaki Besar? Aku baru mendengarnya."<br /><br />"Di sebelah timur hutan ini ada lembah yang dihuni satu suku yang memiliki telapak kaki besar. Mereka memegang teguh aturan nenek moyang mereka untuk tidak memakai alas kaki ke mana pun mereka pergi," jelas Ranjit.<br /><br />"Kalau begitu mari kita ke sana," ajak Patih Rangga.<br /><br />Letak perkampungan yang mereka tuju sebenarnya tidak jauh. Tapi karena jalan menuju kampung itu sangat curam dan licin, terpaksa mereka turun dari kuda dan berjalan kaki. Saat melewati jalan setapak tiba-tiba telinga Patih Rangga menangkap suara yang amat dikenalnya. Suara siulan yang biasa dilakukan Tabib Akhsay saat mencari dedaunan untuk ramuan obat.<br /><br />"Suara itu datangnya dari sebelah sana," Ranjit memberi petunjuk ke samping kiri jalan setapak. Buru-buru Patih Rangga menerobos semak-semak. Dari sela dedaunan yang lebar, Patih Rangga melihat Tabib Akhsay tengah sibuk mengumpulkan dedaunan, namun di belakangnya dua orang berwajah seram terus menguntit sambil memegang tombak tajam.<br /><br />Dugaan Patih Rangga bahwa Tabib Akhsay diculik semakin kuat. Ia segera berbisik pada Ranjit. Tak berapa lama kemudian keduanya bergerak pelan mendekat dari belakang Tabib Akhsay. Hupf, dengan sekali loncatan keduanya berhasil melumpuhkan dua orang di belakang Tabib Akhsay.<br /><br />"Patih Rangga, biarkan mereka," teriak Tabib Akhsay yang menyaksikan kegaduhan kecil itu.<br /><br />"Bukankah mereka yang menculik Anda, Tabib Akhsay?" tanya Patih Rangga heran.<br /><br />"Mulanya memang begitu," jelas Tabib Akhsay. Mereka berdua mencegatku dalam perjalanan ke Danau Perak. <br /><br />Lantas mereka membawaku secara paksa ke kampung mereka. Kupikir tadinya mereka bermaksud menyanderaku dan minta tebusan kepada istana. Tapi rupanya mereka menculikku karena butuh pertolonganku. Di kampung mereka berjangkit penyakit yang disebabkan oleh sejenis cacing tanah."<br /><br />Patih Rangga manggut-manggut. Ia akhirnya melepaskan dua orang yang dicekalnya. <br /><br />"Bukankah setiap kampung sudah punya seorang tabib?" Patih Rangga mengingatkan.<br /><br />"Tabib mereka sudah meninggal sebulan lalu dan belum ada yang menggantinya."<br />"Tapi Anda tidak bisa terlalu lama di sini karena istana membutuhkan Anda, Tabib Akhsay."<br /><br />"Saya mengerti. Jika tidak keberatan, sebaiknya Patih Rangga kembali ke istana lebih dulu. Beritahukan perihal saya kepada Baginda Raja. Mintakan beberapa orang untuk membantu saya di sini dan tunjuk pula seorang tabib untuk ditempatkan di kampung mereka. Satu lagi yang penting, agar Baginda Raja membuat perintah kepada penduduk kampung mereka agar mau menggunakan alas kaki. Tanpa titah Baginda, mereka tidak mau melanggar aturan nenek moyang mereka."<br /><br />Patih Rangga setuju dengan usul Tabib Akhsay. Ia segera meninggalkan Tabib Akhsay yang ternyata sedang mencari daun untuk ramuan obatnya. Sedangkan dua orang yang mengawalnya itu sengaja diperintahkan untuk menjaga Tabib Akhsay dari serangan binatang liar. Sementara Ranjit diminta untuk turut menemani Tabib Akhsay.<br /><br />Ketika Patih Rangga menyampaikan laporannya kepada Baginda Raja, terlihat wajah Baginda sangat sedih. Ia menyesali dirinya yang tidak memperhatikan kesehatan rakyatnya hingga ia tak tahu ada seorang tabib yang ditempatkan di satu kampung telah meninggal. Padahal kampung itu sangat memerlukan pertolongan kesehatan.<br />Esok paginya satu rombongan dari istana diutus menuju Kampung Kaki Besar. Mereka membawa beberapa tenaga tabib dan obat-obatan. Selain itu Patih Rangga membawa surat perintah agar penduduk Kampung Kaki Besar mau menggunakan alas kaki.<br /><br />"Baginda juga memberi bantuan ratusan pasang alas kaki bagi penduduk Kampung Kaki Besar agar mereka segera melakukan keputusan Baginda. Sumber penyakit mereka disebabkan oleh cacing tanah dan itu hanya dapat dicegah dengan memakai alas kaki," tutur Patih Rangga kepada kepala Kampung Kaki Besar.<br /><br />Setelah Kepala Kampung memakai alas kaki, para penduduk pun mau memakainya. Hanya saja karena sebelumnya mereka tidak biasa menggunakan alas kaki, ukuran telapak kaki mereka memang besar-besar. <br /><br /></span></span><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-67721805098516228622009-06-24T00:16:00.000-07:002009-06-24T00:17:57.770-07:00Pelita Ajaib<p align="justify"><span style="color:#663366;">Zaman dulu, disuatu kerajaan besar, hiduplah siorang prajurit namanya Mark. Mark adalah perajurit yang gagah berani. Beratus kali sudah dia berperang membelah negaranya. Suatu hari, ketika raja sedang berkeliling di iringin pembesar-pembesar kerajaan, Mark maju kedepan lalu memohon. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“ Yang mulia,” katanya, “bertahun-tahun aku mengabdi, tapi kini, untuk hidupun gajiku tidak cukup. Bolehkah hamba mohon kenaikan gaji?” </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Raja marah karna merasa terganggu. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“Tak tahu sopan santun!”bentak raja. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“Mingir! Atau...kusuruh pengawal memenjarahkan kamu.” </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Mark kembali kepondoknya yang rewot. Dibukanya pakaian prajurit, dilembarkannya tanda-tanda jasanya,lalu dia mengambil pedangnya dan melangkah pergi. </span><span style="color:#663366;">Setelah berjalan berjam-jam,sampailah dia kehutan lebat. Dalam hutan itu ada pondok nenek sihir. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Penyihir itu mau memberinya penginapan kalau Mark bersedia turun kesumur tua, mengambilkan sebuah pelita bernyala biru. Mark setuju. Dia turun kedalam sumur,duduk dalam keranjang yang diikat tali dan talinya dipegangi sipenyihir. Mark menemukan pelita itu dan penyihir mulai menaikannya keatas. Tetapi sesungguhnya dia berniat mengelabuhi Mark. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“berikan pelita itu padaku,” serunya, “nanti ku tarik kau keatas.” </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Tapi mark sama cerdiknya dengan si penyihir </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“kau pasti akan menipuku,” kata mark.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“jika pelita ini sudah kau pegang, kau tak pernah membutuhkan aku lagi.” </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Dengan marah penyihir mencampakkan tali. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“pikirkan baik- baik kata- katamu,” teriaknya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Untunglah mark tidak cedera. Untuk menenangkan hatinya dia menyalakan rokoknya dengan pelita itu. Tiba- tiba muncullah peri hitam di hadapannya. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“ada perintah, tuanku?” kata peri itu. Mark terkejut, tapi cepat- cepat dia berkata, “keluarkan aku dari sini.” </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Peri itu tidak ahanya mengeluarkan mark dari dalam sumur, tapi juga memberinya rumah serta harta berlimpah- limpah. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“jika tuan ingin memanggilku,” kata peri hitam, “nyalakan pipa tuan dengan pelita ini... aku akan datang.” </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Mark menikmati hidupnya yang mewah, tapi tak lama. Segera dia ingat bagaimana raja memperlakukannya dengan tidak adil. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#663366;">Dinyalakan rokoknya dengan pelita itu, dan pushhh... muncullah si peri hitam. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#663366;">Kata mark, “culiklah putri raja. Bawa kemari!” </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Ketika putri malang itu tiba di rumahnya, mark memperlakukannya seperti pelayan. Keesokan harinya, di kembalikannya putri itu ke istana. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Raja sangat marah waktu putrinya mengatakan bahwa selop peraknya tertinggal di sebuah rumah yang tak dikenal. Di kerahkannya prajurit kerajaan untuk mencari selop perak itu. Akhirnya ketemu. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Mark di tangkap dan di hukum mati. Tapi dia mengajukan permohonan terakhir, tentu saja untuk menyalakan rokok dan pelitanya. </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Ketika peri hitam muncul, mark menyuruh mengambil tongkat dan memukuli para pengawal, bahkan juga sang raja. Raja menjadi sadar. Mark diampuni dan di nikahkan dengan putrinya. Kini raja tak lagi mudah marah. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Dan si peri hitam? Dia tetap mengabdi mark. Dia selalu siap melayani mark dan istrinya agar mereka selalu hidup bahagia.</span><br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-53024421042930597512009-06-24T00:15:00.000-07:002009-06-24T00:16:02.693-07:00Patung Yang Bisa Bicara<div align="justify"><span style="color:#330000;">Dahulu kala ada seorang kaisar yang sangat berkuasa. Ia memiliki satu peraturan yang sangat aneh. Jika ada yang bekerja di hari ulang tahun anaknya akan dijatuhi hukuman. Agar peraturan ini bisa berjalan baik dan dipatuhi oleh rakyat, harus ada yang mengawasinya. Sang kaisar meminta ahli sulap di negerinya untuk membuat alat yang bisa memberi tahu nama si pelanggar.<br /><br />Tak lama, ahli sulap telah membuat patung indah. Patung itu ditempatkan di alun-alun ibukota. Keistimewaan patung itu adalah ia dapat berbicara, memberikan informasi siapa yang telah melanggar peraturan sang kaisar. Siapapun yang bekerja di hari ulang tahun sang pangeran pasti diketahui oleh patung yang bisa berbicara. <br /><br />Ada seorang tukang kayu bernama Fokus. Ia adalah pekerja yang rajin. Setiap hari ia bekerja dari pagi sampai malam. Suatu waktu, tibalah hari ulang tahun sang pangeran. Tanpa peduli peraturan kaisar, Fokus tetap bekerja di hari itu.<br /><br />Keesokan paginya, Fokus berjalan menuju alun-alun kota. Ia lalu mendekati patung yang bisa berbicara dan berkata,<br /><br />"Oh, patung! Kau telah menyebut banyak nama penduduk negeri ini. Kau membuat mereka dijatuhi hukuman. Aku bersumpah, kalau kau mengadukan aku, aku pasti akan menghancurkanmu."<br /><br />Tak lama setelah itu, kaisar mengirimkan pasukannya untuk mendengarkan laporan patung ajaib, apakah ada yang melanggar peraturan kaisar. Saat melihat pasukan itu, patung ajaib hanya berkata begini, "Kalau aku mengatakan yang sebenarnya, aku akan dihancurkan".<br /><br />Para pasukan kembali ke istana dan melaporkan apa yang mereka dengar kepada kaisar. Kaisar jadi marah. Ia lalu kembali mengirimkan pasukannya ke alun-alun dan memaksa si patung ajaib untuk menyebut nama si pelanggar.<br /><br />Para pasukan mematuhi perintah kaisar. Mereka mendekati patung dan memintanya mengatakan yang sebenarnya. Patung itu lalu berkata, "Tangkaplah Fokus, si tukang kayu. Kemarin ia melanggar peraturan kaisar, dan pagi ini ia mengancam akan merusakku."<br /><br />Fokus, si tukang kayu pun ditangkap dan membawanya ke hadapan Kaisar. Ia pun ditanya mengapa tetap bekerja di hari ulang tahun pangeran. <br /><br />Fokus lalu menjawab,"Yang Mulia, tidak mungkin bagiku untuk mematuhi peraturan itu. Aku harus mendapatkan 8 koin uang penny setiap hari. Karena itu, aku terpaksa harus bekerja."<br /><br />Kaisar tak mengerti jawaban Fokus. Ia lalu meminta penjelasan lebih lanjut. <br /><br />Fokus pun menjelaskannya,"Begini, Yang Mulia. Setiap hari, sepanjang tahun, aku harus membayar utang 2 penny yang aku pinjam dari ayahku ketika aku masih anak-anak. Sekarang ayahku miskin dan membutuhkan bantuanku. Jadi aku mengembalikan apa yang sudah diberikannya. Lalu, 2 penny lagi untuk aku pinjamkan kepada anakku. Ia sedang sekolah, Yang Mulia. Jika aku bangkrut, semoga ilmu yang didapatnya bisa menolongku. 2 penny lagi untuk istriku. Sisa 2 penny untuk diriku sendiri. Untuk makan dan minum. Semuanya 8 penny. Aku tidak bisa melakukan ini semua tanpa bekerja setiap hari."<br /><br />Kaisar kini mengerti bahwa rakyatnya harus bekerja setiap hari. Ia lalu mengijinkan Fokus pergi dan memintanya untuk terus bekerja dengan rajin.<br /><br />Di hari yang sama, Kaisar membatalkan peraturannya yang aneh itu. Semua orang bebas bekerja kapanpun juga. Patung ajaib yang bisa berbicara pun jadi menganggur. Ia menjadi hiasan kota, dengan sedikit renovasi. Yaitu tambahan ukiran koin 8 penny di tangannya.<br /><br /><br /><br /><br /></span></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-57714238793802337702009-06-24T00:12:00.000-07:002009-06-24T00:14:46.241-07:00Pasukan Raja Yang Malas<div align="justify"><span style="color:#003333;">Jaman dahulu kala, hiduplah seorang raja yang mempunyai pasukan yang paling malas di dunia. Mereka selalu terlambat bertugas, dan mereka tidak pernah berpakaian dengan benar. Beberapa memakai seragamnya terbalik. Beberapa kehilangan kancingnya. Beberapa memakai sepatu di kaki yang salah. Satu prajurit bahkan pernah kehilangan celananya.<br /><br />Ini semua karena mereka tidak bisa bangun pagi. Bahkan prajurit yang harus meniup terompet untuk membangunkan yang lain tidak bisa bangun pada waktunya.<br /><br />"Kalian semua sangat memalukan! Sesuatu harus dilakukan. Besok, aku akan membangunkan kalian semua dengan tembakan!"<br /><br />Tapi para prajurit itu tidak mau bangun pagi. Jadi malam itu, sebelum mereka tidur, mereka merencanakan sesuatu. Keesokan paginya, raja menyalakan meriam terbesar di istana. BUM! Seluruh istana bergetar. Raja menunggu dan menunggu, tapi tidak ada prajurit yang muncul. Mereka semua masih tidur nyenyak.<br /><br />Para prajurit itu sangat cerdik. Sebelum tidur, mereka menutupi telinga mereka dengan bantal. Mereka tidak mendengar apa-apa. Lalu ratu berjanji kalau ia yang akan membangunkan para prajurit besok pagi. <br /><br />Pagi-pagi sekali, sang ratu memasang lonceng di menara, di depan kamar para prajurit. Ia menarik talinya sekeras mungkin. Suara dentangan bel terdengar sampai jauh sekali. Sang ratu menunggu dan menunggu, tapi tidak satu pun prajurit muncul. Mereka masih tidur nyenyak. Kali ini, para prajurit yang cerdik itu menyumbat telinga mereka dengan kapas!<br /><br />Sekarang giliran pangeran ingin mencoba membangunkan para prajurit itu. Para prajurit bingung. Apa kira-kira rencana pangeran? Keesokan paginya pangeran menyelinap ke dalam kamar para prajurit. <br /><br />Di punggungnya tersembunyi sehelai bulu ayam yang panjang. Serentak pangeran itu menggelitik semua kaki telanjang para prajurit. Segera saja mereka tertawa keras dan jatuh dari tempat tidur.<br /><br />"Wah hebat anakku, kamu berhasil!"<br /><br />Semua menunggu, tapi tak satu pun prajurit muncul. Mereka tidur nyenyak lagi. Tertawa keras membuat mereka semua kecapaian dan tertidur lagi.<br /><br />Kini sang putri yang selama ini diam saja, hanya tersenyum sendiri. Ia mempunyai rencana yang sangat istimewa. Keesokan paginya, pagi-pagi sekali, sang putri berjingkat-jingkat ke dapur istana dan membisikkan sesuatu pada juru masak istana.<br /><br />Dan, tidak lama kemudian..hmmm, bau apa ini? Baunya enak sekali, bau lezat ini merayap dari dapur, keluar dapur, dan masuk ke dalam kamar di mana para prajurit sedang tidur. Wah, bau sedap ini mengganggu semua hidung para prajurit, dan mereka mulai membuka mata, dan perut mulai terasa keroncongan. Satu sama lain mulai membangunkan dan mereka mengikuti asal bau tersebut.<br /><br />Ternyata bau itu datangnya dari dapur. Pada saat para prajurit sudah ingin makan, sang putrid pun muncul, dan sang putri berkata, <br /><br />"Kalian tidak akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat kalau kalian tidak mandi dan keluar dengan pakaian seragam yang rapi.<br /><br />Dan, tanpa dikomando mereka semua berebut mandi dan menyantap makanan lezat itu. Hal itu terjadi pada hari kedua, hari ketiga, dan begitu selanjutnya. Wah, sejak saat itu tidak ada satu pun lagi prajurit yang malas.<br /><br /><br /><br /></span><em><strong>Dongeng ini karangan Ronne P Randall</strong></em><br /><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-58429653078036332602009-06-24T00:06:00.000-07:002009-06-24T00:11:56.024-07:00MANUSIA SATU KATAHari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya. Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang. <br /><br />"Hei! Siapa kau?" tanya Raja. Orang itu tak menjawab. "Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!" pintanya dengan nada keras.<br /><br />"Tidak!" jawab orang itu. <br /><br />Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali.<br /><br />"Jadi kau mau menolongku?" <br /><br />"Tidak!" jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih.<br /><br />"Maukah kau kubawa ke kerajaan?" tawar Raja.<br /><br />"Tidak!" jawab si penolong. <br /><br />"Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas."<br /><br />"Tidak!" jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima. <br /><br />Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih.<br />"Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak."<br /><br />"Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?"<br /><br />"Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang." <br /><br />Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini. Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata,<br /><br />"Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya."<br /><br />"Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?"<br />"Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya."<br /><br />"Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?"<br /><br />"Manusia satu kata itu, Paduka."<br /><br />"Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!"<br /><br />"Percayalah pada hamba, Paduka."<br /><br />Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil. <br />Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren. Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan. <br /><br />"Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?" tanya peserta pertama.<br /><br />"Tidak!" jawab si manusia satu kata. <br /><br />"Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?" <br /><br />"Tidak!" <br /><br />Pertanyaan tinggal satu.<br /><br />"Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk."<br /><br />"Tidak!" ujar si manusia satu kata. <br /><br />Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai.<br /><br />Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil, <br /><br />"Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?" pertayaan pertama peserta kedua.<br /><br />"Tidak!"<br />"Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?"<br /><br />"Tidak!"<br /><br />"Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk."<br /><br />"Tidak!" <br /><br />Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati. <br /><br />Peserta terakhir maju. Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.<br /><br />"Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?" tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan mantap pula penjaga menjawab.<br /><br />"Tidak!" Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai. Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-81682013545030964842009-06-10T01:11:00.000-07:002009-06-10T01:13:13.705-07:00Mahkota Pangeran Tresna<p align="justify"><span style="color:#000066;">Di sebuah desa, hiduplah seorang gadis miskin bernama Jelita. Sejak kecil ia diasuh kakeknya yang buta. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Setiap hari Jelita merawat kebun sayurnya yang terletak di tepi sungai jernih. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Suatu hari, selesai bekerja di kebun, Jelita pergi ke sungai mencuci pakaian. Tiba-tiba ia melihat sebuah kotak terbuat dari emas. Kotak itu tersangkut di antara ranting pohon yang tumbuh di tepi sungai. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Wah, betapa beruntungnya aku!" seru Jelita riang. Ia bermaksud menjual kotak emas itu.</span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Uangnya ingin ia pergunakannya untuk menyembuhkan mata kakeknya yang buta. Jelita bergegas pulang. Ia hendak memberitahu kabar gembira itu kepada kakeknya. Namun, tiba-tiba saja pikirannya berubah. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Astaga! Aku tidak boleh seenaknya menjual kotak emas ini. Aku harus mengembalikannya kepada si pemiliknya. Mungkin benda di dalam kotak ini sangat berarti bagi pemiliknya. Tetapi siapa, ya pemiliknya?" gumamnya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Jelita memandangi kotak emas yang terkunci rapat itu. Ia lalu memutuskan untuk meminta bantuan Ki Barep. Ki Barep adalah Kepala Dusun yang terkenal cerdik. Jelita kemudian bergegas menuju rumah Ki Barep di alun-alun desa. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Hari sudah siang. Alun-alun sangat ramai. Di sana baru saja diadakan pesta menyambut kedatangan Pangeran Tresna. Pangeran datang ke desa itu untuk berburu rusa di hutan. Pangeran Tresna sangat gagah dan tampan. Tak heran jika banyak gadis bangsawan kaya yang datang ke alun-alun. Mereka ingin berkenalan dengan Pangeran Tresna.</span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Ketika baru saja tiba di depan pintu alun-alun desa, Jelita berpapasan dengan Raden Ayu Mangir. Ia putri bangsawan yang terkaya di kabupaten itu. Dahulu, almarhum ayah Jelita pernah bekerja pada keluarga kaya itu sebagai kusir kereta kuda. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Heh! Mau apa kau kesini?" hadang Mangir kasar. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Oh, selamat siang, Den Ayu Mangir," sapa Jelita hormat. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Mangir membalasnya dengan sinis, "Heh! Tak tahu malu! Kau datang ke pesta ini untuk berkenalan dengan Pangeran Tresna, ya? Huh, mana mau ia berkenalan denganmu! Urusi saja kebun sayurmu!" </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Sesaat kemudian Mangir melihat kotak emas yang dibawa Jelita. Tiba-tiba timbullah niat jahat di hatinya. Ia ingin memiliki benda itu. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Aaah, dasar kau pencuri!" teriak Mangir sambil menuding Jelita. Pikir Mangir, semua orang pasti percaya jika ia mengakui kotak emas itu miliknya. Tak akan ada yang percaya pada Jelita yang miskin. "Sudah lama kotak itu hilang. Ternyata kau yang mengambilnya. Ayo cepat kembalikan padaku!" seru Mangir sangat keras, lalu merebut kotak itu dengan kasar. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Oh, maaf Den Ayu Mangir. Saya tidak mencuri kotak emas itu. Kalau memang benda itu kepunyaan Den Ayu, ambil saja," kata Jelita polos dan lugu. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Namun, Mangir malah berteriak, "Pencuriii! Tolooong ada pencuri!" </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Orang-orang percaya begitu saja pada bualan Mangir. Jelita diseret bagaikan penjahat ke hadapan kepala dusun. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Sabar, kita tak boleh sembarangan menuduh orang. Nak, ceritakanlah! Darimana kau dapat kotak emas itu?" kata Ki Barep yang duduk di sebelah Pangeran Tresna. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Jelita menjelaskan hal yang sesungguhnya serta maksud kedatangannya ke alun-alun desa itu. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Mangir, sekarang giliranmu menjawab pertanyaanku," kata Ki Barep yang cerdik. "Jika benar kotak itu kepunyaanmu, coba perlihatkan kunci kotak itu! Dan sebutkan apa isi kotak itu!" </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Mendengar pertanyaan itu, wajah Mangir mendadak pucat. Namun, ia kembali berbohong untuk meyakinkan Pangeran Tresna, Ki Barep, dan semua yang hadir di sekitar alun-alun itu. "Saat ini saya tidak memiliki kunci kotak itu. Sebab perempuan miskin ini telah mencuri kuncinya. Dan mengenai isinya… ah, saya sudah agak lupa. Lagipula, pasti telah berkurang karena dijual Jelita. Ngg… ada selusin cincin emas, gelang-gelang emas… " </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Cukup! Cukup! Kau berbohong Mangir!" potong Pangeran Tresna. "Sebetulnya kotak emas itu milikku," ungkap Pangeran, lalu mengambil dari sakunya sebuah anak kunci yang juga terbuat dari emas. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Semua yang hadir terperangah melihatnya. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Sebelum kotak emas itu dibuka, aku akan menjawab pertanyaan Ki Barep yang kedua. Isinya adalah sebuah mahkota emas bertakhta permata hijau." </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Pangeran kemudian memberikan kunci tersebut kepada Ki Barep. Dan dengan mudah Ki Barep berhasil membukanya. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Pangeran benar! Isinya memang mahkota kerajaan yang terbuat dari emas bertakhta permata hijau," kata Ki Barep. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">"Bagaimana ini bisa terjadi, Pangeran?" tanya Jelita tidak percaya. Dalam hati Jelita kasihan kepada Mangir. Ia tentu akan dihukum berat karena telah berbohong pada Pangeran. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#000066;">"Jelita, aku kagum pada kejujuranmu. Baiklah, begini ceritanya," kata Pangeran sambil terus menatap wajah Jelita. Rupanya Pangeran Tresna telah jatuh cinta pada gadis miskin itu. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#000066;">Permata di mahkota itu agak longgar. Pangeran ingin membawa mahkota itu ke ahli emas di desa itu. Ia membawanya sendiri karena sekalian akan berburu di hutan. Saat melewati tepi sungai yang jernih, Pangeran ingin membasuh mukanya. Ketika akan turun dari kuda yang ditungganginya, tiba-tiba seekor ular kobra besar melintas di dekat kaki kuda. Kuda itu ketakutan dan berlari ke sungai. Akibatnya, semua bekal makanan dan kotak emas yang ada di punggung kuda berjatuhan ke dalam sungai. Hanyut terbawa arus yang deras. Lalu, Jelita-lah yang menemukannya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#000066;">Pangeran lalu menyuruh pengawalnya menangkap Mangir. Ia harus dihukum penjara sebab telah memfinah orang. </span><span style="color:#000066;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#000066;">Jelita yang baik hati lalu dipersunting Pangeran Tresna menjadi permaisurinya. Jelita tak lupa meminta Pangeran agar mengobati mata kakeknya yang buta. Mereka pun hidup bahagia sampai di akhir hayat.</span><span style="color:#000066;"><br /></span><span style="color:#000066;"><br /></span><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-74326442929301306082009-06-10T01:09:00.001-07:002009-06-10T01:09:49.576-07:00Istana Bunga<div align="justify"><span style="color:#330099;">Dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka berfoya-foya dan menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai putra dan putri yang baik hati. Sifat mereka sangat berbeda dengan kedua orangtua mereka itu. Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna selalu menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya suka menolong rakyatnya yang memerlukan bantuan. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada ayah bundanya, "Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!" </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!" usir Raja.</span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Pangeran Aji Lesmana tidak terkejut. Justru Puteri Rauna yang tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah bundamya, "Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun pergi!" </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Raja dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi mengikuti kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk mendapat ilmu. Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua orangtua mereka. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Keduanya sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah sangat tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba mengetuk pintu. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya, </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan." </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#330099;">Kakek sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar kebohongan Kusmantoro. Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi muridnya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#330099;">Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada Kusmantoro dan Kusmantari. </span><span style="color:#330099;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#330099;">Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat mereka menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru bijaksana dan sakti itu. Suatu malam Panembahan memanggil mereka berdua. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Anakku, Kusmantoro dan Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini. Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu amalan." </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Amalan apa itu, Panembahan?" tanya Kusmantari. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan gubug ini. Lalu berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua mereka." </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Dua kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan buruk mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai kejujuran hati," pesan Panembahan Manraba. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Ketika menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau mereka adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika tidak berterus terang, berarti mereka berbohong, tidak jujur. Padahal kuntum melati hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">"Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada Panembahan selama ini." </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana." </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna berangkat menuju ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera memeluk kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu. </span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;">Puteri Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu. Sifat mereka pun berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat bahagia. Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada Panembahan. Dan menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan</span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span><span style="color:#330099;"><br /></span></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-20211467841895784442009-06-10T01:05:00.000-07:002009-06-10T01:07:16.626-07:00Kasut Bidadari<p>Kasut Bidadari adalah nama sejenis anggrek yang tumbuh di hutan. Kasut berarti sepatu. Anggrek Kasut Bidadari yang tumbuh di tanah ini sangat indah. Bunganya seperti disulam dengan benang emas. Tepiannya berwarna perak. Karena indahnya, ada dongeng tentang anggrek Kasur Bidadari ini. Beginilah ceritanya… </p><p>Dahulu kala, di kerajaan kahyangan, ada tujuh puteri yang sangat jelita. Nama-nama mereka diambil dari nama bunga. Mawar, Dahlia, Cempaka, Tanjung, Kenanga, Cendana dan si bungsu Melati. Mereka masing-masing mempunyai kesukaan yang berbeda. Yang paling menonjol dari antara mereka adalah si bungsu Melati. <br /></p><p>Melati sangat suka bemain-main di hutan Rimba Hijau. Hutan itu sering dikunjungi manusia. Ayah mereka berulang kali melarang Melati bermain di hutan itu. Sang ayah takut jika puterinya itu bertemu dengan manusia. </p><p>Di rimba itu terdapat sungai dengan air terjun yang indah. Di saat cuaca cerah, gemercik airnya membias memantulkan sinar matahari. Sehingga terbentuklah warna-warna indah seperti pelangi. <br /></p><p>Suatu hari Melati mengajak semua kakaknya ke Rimba Hijau. Mereka turun ke bumi dengan meneliti pelangi. Mereka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah. Setibanya di bumi, mereka asyik bermain di air terjun. </p><p>Sedang asyiknya mereka bermain, lewatlah seorang pemburu. Ia sangat terkejut melihat ketujuh bidadari itu. <br /></p>"Hei, siapa kalian? Aku belum pernah melihat kalian!" seru pemburu itu. <br /><p>Ketujuh puteri itu sangat terkejut. Mereka langsung terbang melayang ke angkasa. Saking terburu-buru, sebelah sepatu Melati jatuh ke bumi. Melati bermaksud mengambilnya. Namun kakak-kakaknya melarangnya. Ketujuh bidadari itu lalu kembali meniti pelangi. Perlahan-lahan pelangi itu pun mulai menghilang. </p><p>Pemburu tadi terpana menyaksikan kepergian ketujuh bidadari itu. Ia lalu memungut sebelah sepatu Melati yang tadi terjatuh. Namun, sepatu itu tiba-tiba terjatuh lagi dari tangannya. Pada saat itulah terjadi kejadian aneh. Sepatu tadi perlahan-lahan berubah menjadi bunga yang indah. Setiap helai kelopaknya seperti tersulam dari benang emas dan perak. <br /></p><p>"Aneh… kasut tadi mengapa bisa menjadi bunga? Tentu ketujuh gadis tadi adalah bidadari…" gumam pemburu itu. "Karena berasal dari kasut, kunamakan saja bunga ini Kasut Bidadari," gumamnya lagi. </p><p>Demikianlah… Akhirnya sampai kini bunga itu dinamakan Kasut Bidadari. <br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-6093710052866346862009-06-10T01:04:00.000-07:002009-06-10T01:05:42.931-07:00Ketika Pangeran Mencari Isteri<div align="justify">Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperitah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry yang telah tua itu ingin segera turun takhta. Raja Henry memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. Putra mahkota itu baik hati, bertanggung jawab, serta bijaksana. Ia juga dekat dengan rakyat. Itu sebabnya ia sangat cocok untuk memerintah kerajaan itu. Tetapi sayangnya ia belum beristeri. Padahal salah satu syarat untuk menjadi raja di kerajaan itu, pangeran harus memiliki isteri. <br /><br />Kesibukan di istana pun dimulai. Seluruh anggota kerajaan sibuk mencarikan wanita yang cocok untuk Pangeran. Tapi, tak satu pun wanita yang dapat membuat Pangeran Arthur jatuh cinta. Selalu saja ada kekurangannya di mata Pangeran Arthur. <br /><br />Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang melamun di taman istana. <br /><br />"Selamat pagi Pangeran Arthur!" sapa sang pengembara. <br /><br />"Selamat pagi. Siapakah kau?" tanya Pangeran Arthur. <br /><br />"Aku pengembara biasa. Namaku Theo. Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon isteri?" tanya Theo. <br /><br />"Ya, aku bingung sekali. Semua wanita yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!" keluh Pangeran dengan wajah bingung. <br /><br />"Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan jalan keluar," ajak Theo sambil memandang wajah Pangeran yang tampak letih. <br /><br />"Ooh, baiklah," jawab Pangeran sambil melangkah. Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana. <br />Theo mengajak Pangeran ke daerah pantai. Disana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan. Tak lama kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya. <br /><br />"Isteriku sedang memasak ikan bakar yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya," ujar si nelayan. <br />Setibanya di rumah nelayan, terciumlah aroma ikan bakar yang sangat lezat. Mereka duduk di teras rumah nelayan itu. Tak lama kemudian keluarlah istri nelayan menghidangkan ikan bakar. Istri nelayan itu bertubuh pendek. Ketika sang istri masuk ke dalam, Theo bertanya, "Wahai Nelayan! Mengapa engkau memilih istri yang bertubuh pendek?" <br /><br />Nelayan itu tersenyum lalu menjawab, "Aku mencintainya. Lagipula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun pandai memasak." <br /><br />Theo dan Pangeran Arthur mengangguk-angguk mengerti. Selesai makan, mereka berterima kasih dan melanjutkan perjalanan. <br /><br />Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Rumah Pak Tani sangat bersih. Tak ada sedikit pun debu. Mereka beberapa saat bercakap dengan Pak Tani. Lalu keluarlah isteri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kue-kue kecil. Bu Tani bertubuh sangat gemuk. Pipinya tembam dan dagunya berlipat-lipat. Setelah Bu Tani pergi ke sawah, Theo pun bertanya, "Pak Tani yang baik hati. Mengapa kau memilih isteri yang gemuk?" <br /><br />Pak Tani tersenyum dan menjawab dengan suara bangga, "Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat mencintainya." <br />Pangeran dan Theo mengangguk-angguk mengerti. Mereka lalu pamit, dan berjalan pulang ke Istana. Setibanya di Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan isterinya. Pelayan itu amat pendiam, sedangkan isterinya cerewet sekali. Theo kembali bertanya, <br /><br />"Pelayan, mengapa kau mau beristerikan wanita secerewet dia?" <br /><br />Pelayan menjawab sambil merangkul isterinya, "Walau cerewet, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat mencintainya". <br />Theo dan Pangeran mengangguk-angguk mengerti. Lalu berjalan dan duduk di tepi kolam istana. Pangeran berkata pada Theo, <br /><br />"Kini aku mengerti. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan calon isteriku. Yang penting, aku mencintainya dan hatinya baik." <br /><br />Theo menarik nafas lega. Ia lalu membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. Kini di hadapan Pangeran ada seorang puteri yang cantik jelita. Puteri itu berkata, <br /><br />"Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu." <br /><br />Pangeran sangat terkejut tetapi kemudian berkata, <br /><br />"Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi isteriku". Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.<br /><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-32373434610928436812009-06-10T01:02:00.000-07:002009-06-10T01:04:41.725-07:00Kelinci Putih<p align="justify"><span style="color:#996633;">Silvia adalah seorang putri ningrat. Dia tinggal dalam rumah megah berkebun luas. Dia kaya sekali. Pelayannya banyak dan dia tak perlu bekerja apa- apa, kecuali bersenang- senang. Ia suka mengundang tamu- tamu. Tamu- tamunya juga kaum bangsawan. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Silvia tak pernah pergi ke luar batas kebunnya. Semua kebutuhannya sudah tercukupi. Lagi pula... di luar batas dinding kebun belakang, terhampar hutan lebat yang seram. Tak ada penduduk desa yang berani melintasi hutan itu sendirian. Mereka selalu berbondong- bondong atau minta bantuan pengawal. </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Namun, pada suatu hari yang cerah, hutan itu kelihatannya tak begitu menyeramkan. Silvia berjalan- jalan di kebun belakang. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Lalu menerobos pintu yang ada di sana, selangkah lagi... sampailah ia ke tepi hutan. Belum jauh dia berjalan, tiba- tiba ada seekor kelinci putih melompat ke dalam pelukannya. Bulunya halus dan matanya berkedip jenaka. Silvia langsung suka padanya. Digendongnya kelinci itu pulang ke rumah. </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#996633;">Gegabah benar dia. Kelinci itu sesungguhnya adalah piaraan peri hutan. Peri hutan biasanya berwatak jahat. Dan ketika dia melihat silvia menggendong kelinci itu, dia marah sekali. </span><span style="color:#996633;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#996633;">Melesat cepat bagai kilat, peri hutan segera menghadang silvia. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">“kamu gadis busuk! Kamu mencuri kelinciku!” jerit parau si peri hutan. </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Silvia langsung mengulurkan kelinci putih itu. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">“maaf,” kata silvia, “aku tak tahu kelinci ini ada yang punya.” </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">“tidak! Kau telah memegang kelinciku,” pekik peri hutan.dia memang suka marah- marah. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">" sekarang kau harus memeliharanya. Baik- baik! Ingat, dia hanya mau makan daun semanggi. Lain tidak! Kalau sampai kelinci itu mati- aku akan merampas seluruh harta kekayaanmu.” </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Peri itupun menghilang. Silvia bergegas pulang ke rumah sambil menggendong kelinci putih. Andai saja tadi dia tidak melihatnya... Sulit juga mencari daun semanggi. Silvia terpaksa mengerahkan semua pelayannya untuk mencari daun semanggi. Sepanjang hari, selama beberapa minggu mereka berhasil memberi makan kelinci itu. Makan yang cukup. Tapi akhirnya habislah daun semanggi yang bisa di petik. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Kelinci putih itu jadi kurus dan sakit- sakitan. Terpaksa silvia membuat sayembara. Jika ada anak muda yang bisa menemukan atau mengumpulkan daun semanggi segar untuk kelinci itu, silvia bersedia menjadi istrinya. </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Tentu saja anak- anak muda di seluruh dusun kasak- kusuk mencari –cari daun semanggi. Tak ada yang berhasil. Hanya satu yang beruntung, martin namanya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">Martin menemukan seekor rusa yang pincang- luka kakinya. Martin yang baik itu menolongnya. Pada saat itu kebetulan peri hutan lewat. Dan dia sedang enak hati. </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">“kamu anak muda yang baik hati,” katanya pada martin. </span></p><p align="justify"><span style="color:#996633;">“mari kutunjukkan di mana ada semak daun semanggi yang lebat,” lanjutnya. </span><span style="color:#996633;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#996633;">Lalu, setiap hari martin membawakan kelinci putih itu daun- daun semanggi yang segar. Silvia kemudian menikah dengan martin dan mereka hidup bahagia. </span><br /><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-43266289092040058802009-06-10T00:54:00.000-07:002009-06-10T00:56:54.426-07:00Hadiah Buat Sang Putri<p align="justify"><span style="color:#663366;">Pada zaman dahulu, hiduplah seorang putri. Ayahnya adalah seorang raja yang terkenal, dan sangat mencintai putrinya tersebut. Karena rasa sayangnya itu, segala keinginan anaknya itu pasti akan dituruti. Jika sang putri minta apa saja, maka ayahnya segera memberikannya secara berlebih.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Pada suatu hari, sang putri meminta sutra pada ayahnya. Mendengar permintaan putrinya itu, sang ayah segera mengumpulkan seluruh pedagang sutra terbaik yang ada di kerajaan itu, lalu satu persatu mereka meletakkan sutra mereka di hadapannya, agar sang putri dengan mudah bisa memilih.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Pada saat musim dingin tiba, sang putri meminta perapian untuk menghangatkan tubuh. Langsung saja sang ayah mengumpulkan seluruh tukang kayu yang ada di kerajaan untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian meraka menyalakan api, sehingga badan sang putri menjadi hangat.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Ketika sang putri menginginkan bintang, maka ayahnya mengumpulkan pengrajin batu mulia. Mereka membentuk batu permata menjadi bintang-bintang yang sangat indah dan berkilauan.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Pada suatu hari, sang putri berjalan-jalan di taman istana. Tiba-tiba ia melihat anak tukang kebun yang miskin sedang menyiram bunga-bunga di taman. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Sang putri melihat ke arah anak tukang kebun, seraya berkata, “Hei.., apakah kamu mempunyai sutra seperti yang saya pakai ini?”, “Apakah kamu punya perapian seperti yang ada di rumahku?”, tanya sang putri lagi, “Dan apakah kamu punya bintang yang indah seperti ini?! Kamu pasti tidak punya. Mana bisa kamu mendapatkan itu semua. Kamu kan hanya anak seorang tukang kebun miskin. Kamu tidak punya ayah seorang raja atau saudara pangeran”. Lanjut sang putri dengan sombong.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Anak tukang kebun itu hanya diam dan tertawa mendengar ocehan sang putri dan tidak membalasnya. Dan semenjak itu, sang putri sering pergi ke taman setiap hari untuk memamerkan yang ia punya pada anak tukang kebun, dan ia akan selalu mengatakan, “Apakah kamu mempunyai sutra seperti yang saya pakai ini?”. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“Apakah kamu punya perapian seperti yang ada di rumahku?”. “Dan apakah kamu punya bintang yang indah seperti ini?”. “Kamu pasti tidak punya. Mana bisa kamu mendapatkan itu semua. Kamu kan hanya anak seorang tukang kebun miskin. Kamu tidak punya ayah seorang raja atau saudara pangeran”.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Dan, anak tukang kebun itu lagi-lagi hanya diam dan tersenyum. Ia tidak membalasnya. Akan tetapi, pada suatu saat, ia menanggapi sikap sang putri dengan tertawa sambil berkata, “Memang... aku tidak punya ayah seorang raja dan tidak punya saudara pangeran... Aku hanya seorang anak tukang kebun yang miskin. Aku tidak punya sutra seperti yang kamu pakai. Aku tidak punya perapian seperti yang ada di kamarmu, dan aku juga tidak punya bintang dari permata seperti punyamu. Tapi aku punya sutra yang halus sekali, aku punya api merah yang tidak menyengat, dan aku punya bintang yang berkilauan, semuanya berkumpul jadi satu dan dapat berjalan bersama-sama di atas tanah. Ia jauh lebih indah dari semua yang kamu punya”, timpal anak itu tidak mau kalah.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Sang putri kaget dan heran mendengar ucapan anak tukang kebun itu, dan berkata pada dirinya sendiri, “Apa benar yang dikatakan anak tukang kebun itu? Ia punya sutra yang halus, api merah yang tidak menyengat, dan bintang yang berkilauan, semua itu menjadi satu dan dapat berjalan bersama-sama di tanah?” Gumam sang putri. “Sementara aku punya sutra, api dan bintang yang tidak menjadi satu dan tidak bisa berjalan di tanah, dan api yang ada dirumahku panasnya menyengat dan bisa membakar siapa saja yang ada di dekatnya,” pikir sang putri sambil merenung.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#663366;">Sejak sang putri mendengar kata-kata anak tukang kebun itu, ia selalu memikirkannya, dan berangan-angan seandainya punya seperti apa yang dimiliki oleh anak tukang kebun tersebut.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#663366;">Hari ulang tahun semakin dekat, dan sebentar lagi tiba. Sang putri mengadu pada ayahnya, “Ayah... nanti kalau aku ulang tahun, aku mau hadiah sutra yang halus, api yang panasnya tidak menyengat, dan bintang yang berkilauan, semua itu jadi satu dan dapat berjalan di tanah,” pinta sang putri.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Sang raja terheran mendengar rengekan putrinya dan memerintahkan menterinya untuk mencarinya. Sang menteri juga heran dan bingung mendengar perkataan raja, lalu ia minta pendapat pada seorang penasehat yang bijak. Mendengar perkataan sang menteri sang penasehat bijak juga heran, ia berfikir keras mencari jawaban permintaan rajanya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Setelah lama berfikir, ia berkata kepada sang menteri, “Itu adalah perkara yang mustahil. Tidak mungkin ada. Mana ada api yang panasnya tidak menyengat? Dan sangat tidak mungkin ada sutra, api dan bintang yang berkumpul jadi satu. Karena api akan membakar sutra, dan bintang akan membakar keduanya. Lalu bagaimana mungkin semua itu berjalan bersama di tanah?” Kata sang penasehat heran.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Sang menteri menyampaikan apa yang dikatakan oleh penasehat, dan menyesal karena tidak dapat memenuhi permintaan sang putri. </span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Ketika sang putri mengetahui bahwa permintaannya tidak terpenuhi, ia jatuh sakit dan terbaring di atas tempat tidurnya. Ia tidak dapat bergerak dengan lincah sebagaimana yang biasa ia lakukan ketika sehat. Sang raja khawatir dan panik melihat keadaan putrinya itu. Lalu ia meminta tabib istana untuk mengobati putrinya.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">“Paduka raja patut khawatir terhadap keadaan sang putri, karena sakitnya tidak akan terobati kecuali dengan memenuhi permintaannya,” saran tabib istana.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Sang raja bingung menghadapi persoalan itu, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memenuhi permintaan putrinya agar sembuh dari sakitnya.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Akhirnya sang raja membuat sayembara di seluruh pelosok kerajaan dan negeri. Yang isinya, siapa yang dapat memenuhi permintaan sang putri maka akan diberikan hadiah emas yang banyak dan akan dijadikan pangeran.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Semua orang di kerajaan itu mulai mencari apa yang diminta oleh sang putri. Sementara pasukan kerajaan berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain di seluruh negeri dengan tujuan yang sama. Akan tetapi mereka tidak menemukan apa yang diinginkan oleh sang putri.</span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Pada suatu malam, anak tukang kebun yang miskin tadi datang ke istana, kemudian ia menyampaikan pada penjaga istana bahwa ia mempunyai hadiah buat sang putri.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Maka dengan seketika penjaga tersebut mengantarkannya untuk bertemu dengan sang putri. Anak tukang kebun itu tersenyum ketika melihat sang putri, seraya berkata, “Ambillah hadiah ini wahai sang putri...”. Selanjutnya ia mengeluarkan seekor kucing kecil mungil dan cantik dari dalam sakunya. Dan berkata, “Kucing ini bulunya halus seperti sutra, lidahnya merah seperti api tapi tidak menyengat, dan matanya berkilau seperti bintang. Semuanya berkumpul jadi satu dan berjalan bersama-sama di atas tanah.” </span><span style="color:#663366;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Sang putri tertawa. Ia langsung mengambil kucing itu, mengelus bulunya yang halus seperti sutra. Ia melihat lidahnya yang merah seperti api, dan ia memandangi matanya yang indah dan bersinar seperti kilauan bintang di langit.</span></p><p align="justify"><span style="color:#663366;">Sang putri mendekap dan memeluk kucingnya yang manis. Sang raja sangat senang melihat putrinya telah sembuh. Akhirnya sang raja memberikan imbalan yang besar kepada anak tukang kebun dan ia diangkat sebagai pengeran.</span><br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-34355368671111918552009-06-10T00:47:00.000-07:002009-06-10T00:49:24.101-07:00GEMBALA SANG RAJA<div align="justify"><span style="color:#666600;">Raja Yosia memiliki 100 ekor domba pilihan. Bulunya putih bagaikan salju, muda, sehat, dan bersih. Pada waktu-waktu tertentu, 100 ekor domba itu dipersembahkan sebagai kurban untuk Tuhan. Kemudian sang gembala, Pak Kaleb, menyiapkan lagi 100 ekor domba pilihan. Ia memberi mereka makan rumput yang hijau segar. Dan membawa mereka minum ke air danau yang tenang. Juga menjaganya bila ada serigala menyerang. Namun, sekarang Pak Kaleb sudah tua. Ia harus diganti dengan seorang gembala muda yang tangkas dan kuat. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Pak Kaleb, kau pilihlah dulu tiga gembala muda calon penggantimu. Berikutnya aku yang akan menguji, untuk menentukan siapa yang pantas menggantikanmu!" titah Raja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#666600;">Pak Kaleb segera melaksanakan perintah raja. Ternyata cukup banyak peminat. Rakyat negeri itu tahu, bekerja bagi Raja adalah kesempatan istimewa. Gajinya besar dan merupakan suatu kehormatan. Pak Kaleb menguji pengetahuan para calon penggantinya. Ia bertanya tentang cara menyisir bulu domba, ciri-ciri domba sakit, cara mengobati domba sakit, cara melawan serigala, kemahiran menggunakan tongkat gembala dan sebagainya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#666600;">Akhirnya didapat tiga calon; Yunus, Obaja, dan Daud. Ketiganya masih muda, kuat, gagah, dan pandai. Kaleb segera menghadap Raja untuk melapor. </span><span style="color:#666600;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Bagus, Pak Kaleb. Besok suruh mereka menghadap aku di halaman belakang istana. Dan tolong sembunyikan seekor domba dari yang 100 ekor itu. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">Tukar dengan kambing hitam!" kata Raja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Baik, Baginda. Segera hamba laksanakan!" kata Kaleb. Namun dalam hatinya ia heran. Mengapa seekor domba harus ditukar dengan kambing hitam? </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">Esok harinya Baginda pergi ke halaman belakang istana. Tiga gembala muda sudah menunggu dengan tongkat masing-masing. Domba-domba berkeliaran di rumput, ada yang duduk tenang, ada yang berjalan-jalan dan ada pula yang berlaga dengan kawannya. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Anak-anak muda, itulah 100 ekor domba pilihan yang akan dipercayakan pada salah seorang di antaramu. Coba perhatikan dan kemudian beri komentar kalian!" kata Raja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">Ketiga calon gembala istana itu segera mendekati domba-domba. Setengah jam kemudian mereka kembali menghadap Raja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Bagaimana komentar kalian?" tanya Raja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Domba-domba itu memang domba pilihan. Tak ada cacat cela. Sungguh suatu kehormatan bila hamba dipercaya menggembalakan mereka!" kata Yunus. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Hamba pun berpendapat demikian. Merawat domba-domba untuk dipersembakan pada Tuhan sungguh merupakan anugerah!" kata Obaja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Dan apa komentarmu?" tanya Raja pada Daud. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Jumlah domba hanya 99 ekor. Yang seekor kambing hitam, bukan domba. Dimanakah yang seekor lagi? Menurut Pak Kaleb, kami harus merawat 100 ekor domba pilihan!" kata Daud. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">Raja mengangguk-angguk. "Ya, ya. Kalau begitu, biar Pak Kaleb mencari yang seekor lagi. Besok kalian datanglah lagi untuk diuji!" kata Raja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">Sesudah tiga calon gembala pergi, Raja berkata pada Pak Kaleb, </span><span style="color:#666600;">"Tukarlah kambing hitam itu dengan domba yang luka!" </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Baik, Baginda!" jawab Pak Kaleb dengan hormat. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">Keesokan harinya ketiga gembala muda itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa 100 domba-domba itu dan memberikan komentarnya. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#666600;">"Bagaimana sekarang? Jumlahnya 100 ekor?" tanya Raja. </span></p><p align="justify"><span style="color:#666600;">"Ya, Tuanku. Jumlahnya 100 ekor domba pilihan. Kemarin hamba tidak menghitungnya!" kata Yunus. </span><span style="color:#666600;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#666600;">"Benar, Baginda, hari ini dombanya lengkap 100 ekor!" jawab Obaja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#666600;">"Maaf, Baginda. Tadi saat hamba sisir bulu domba-domba itu, ternyata ada seekor yang terluka. Lihatlah! Ini perlu diobati!" ujar Daud sambil membawa seekor domba dan menunjukan bagian yang terluka. </span></p><p align="justify"><span style="color:#666600;">"Baiklah, Pak Kaleb akan obati. Besok ujian terakhir. Jadi, datanglah sekali lagi!" kata Raja. Kemudian Raja menyuruh Pak Kaleb menukar domba yang luka dengan domba yang sehat sempurna. </span><span style="color:#666600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#666600;">Esok harinya, ketiga gembala itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa domba-domba itu dan kemudian menghadap. Kali ini Yunus dan Obaja memeriksa domba-domba itu dengan teliti. </span></p><p align="justify"><span style="color:#666600;">Ketika menghadap, Yunus berkata, "Hamba lihat ada 100 ekor domba sehat, Baginda!" </span><span style="color:#666600;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Benar! 100 ekor domba pilihan yang sehat!" kata Obaja. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">"Jumlah domba memang 100 ekor, tapi hamba tidak lihat domba yang terluka kemarin. Dimanakah dia? Apakah lukanya sudah membaik?" tanya Daud. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;">Raja tersenyum senang dan mengangguk-angguk. </span><span style="color:#666600;"><br /></span><span style="color:#666600;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#666600;">"Kalian bertiga gembala-gembala muda yang tangkas. Namun, aku harus memilih satu. Dan pilihanku jatuh pada Daud. Ia pantas menjadi gembala istana. Ia teliti menghitung domba-domba yang akan dipercayakan padanya. Ia memeriksa kesehatan domba dengan teliti. Dan mengenal domba-domba itu dengan baik. Ia tahu bahwa domba yang terluka itu tak ada, walau jumlah seluruh domba tetap 100 ekor!" kata Raja. </span></p><p align="justify"><span style="color:#666600;">Maka Daud pun diangkat menjadi gembala sang Raja</span><br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-44714157911036327612009-06-10T00:45:00.000-07:002009-06-10T00:46:42.770-07:00Gadis dan Pohon Bernyanyi<p align="justify"><span style="color:#336666;">Di sebuah kota pelabuhan yang ramai tinggallah seorang anak perempuan yatim piatu. Gadis namanya. Ayah dan ibunya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak itu Gadis tinggal bersama bibinya. Namum bibinya sangat kasar kepadanya. Gadis amat sedih. Akan tetapi ia mencoba tabah dan sabar. </span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Gadis adalah anak yang rajin. Ia berusaha mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Salah satunya adalah mengambil air dari sumur. Letak sumur itu sangat jauh dari rumah. Untunglah di tengah jalan ada sebatang pohon tua yang besar dan rimbun. Gadis sering singgah di bawah pohon itu untuk melepas lelah. </span><span style="color:#336666;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Kadang-kadang, Gadis menangis sedih di bawah pohon itu. Ia merasa sendirian di dunia ini. Ia tak tahu harus mengadu kepada siapa. Diantara isak tangisnya, Gadis senantiasa berdoa agar Tuhan menjaga dan menolongnya. Anehnya, setiap kali ia menangis, pohon itu selalu mengembangkan ranting-rantingnya. Daun-daunnya bergerak dengan lembut dan berirama.</span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Desiran halusnya bagaikan nyanyian merdu. Gadis selalu terpesona mendengarnya. Sehingga ia lupa akan kesedihannya. Bahkan sampai tertidur. Bila ia tertidur pohon itu menundukkan ranting-ranting daunnya. Supaya Gadis terlindung dari panas matahari. Jika Gadis terlalu lama tertidur, pohon itu akan menjatuhkan daun-daunnya ke pipinya yang halus. Gadis jadi terbangun karenannya. </span><span style="color:#336666;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Hari demi hari pun berlalu.. Raja akan membuat sebuah kapal pesiar. Pohon-pohon tua yang ada akan ditebang. Kayunya digunakan untuk membuat kapal. Gadis menjadi gelisah, ia cemas kalau pohon tuanya akan turut ditebang. </span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Siang itu, sepulang mengambil air dari sumur, Gadis singgah sejenak di bawah pohon tuanya. Ia melihat tanda silang putih pada batang pohon itu. Berarti pohon kesayangannya akan ditebang. Hati Gadis sedih sekali. Ia tidak bisa berkata-kata. Air matanya mengalir deras. Tanggannya memeluk pohon yang dikasihinya.</span><span style="color:#336666;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">"Pohonku, mungkin hari ini adalah hari terakhir perjumpaan kita. Esok mereka akan menebangmu. Aku akan kehilangan satu-satunya teman yang kumiliki. Aku sedih sekali. Tapi aku tak dapat mencegahnya. Selamat jalan pohonku," isak Gadis. </span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Seperti hari-hari yang lalu pohon itu kembali menundukkan ranting-rantingnya dan daun-daunnya. Seolah-olah memeluk Gadis. Daunnya mengusap lembut pipi Gadis. Tak terdengar nyanyian dari pohon itu. </span><span style="color:#336666;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">"Jangan sedih, anak manis. Kapal itu tak akan berlayar tanpa kehendakmu. Naiklah dan ikutlah berlayar bersamanya kelak. Maka kita akan bersama-sama lagi," bisik pohon itu menghibur hati Gadis.</span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Esok pagi pohon itu ditebang. Beberapa bulan kemudian selesailah kapal yang diinginkan Raja. Sebuah pesta meriah diadakan saat kapal itu akan berlayar untuk pertama kalinya. Namun ketika akan diluncurkan, kapal itu sedikitpun tak mau bergerak meninggalkan dermaga. Penduduk mencoba mendorongnya. Namun kapal itu tetap tak bergerak. Raja menjadi kecewa dan marah.</span><span style="color:#336666;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#336666;">Berita mengenai kapal yang tak mau bergerak itu akhirnya terdengar oleh Gadis. Ia teringat pada pesan terakhir pohon tuanya. Dengan susah payah Gadis pergi ke pelabuhan kota. Dan berhasil menemui Raja. Ia minta izin agar boleh melayarkan kapal tersebut. Raja semula tak percaya. Tapi karena kapal itu tak mau bergerak, akhirnya Raja mengizinkan. Gadis pun bergegas naik ke atas kapal. Penuh rindu diusapnya anjungan kapal itu.</span><span style="color:#336666;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#336666;">"Pohonku, tolonglah aku. Bergeraklah, berlayarlah .. Seluruh penduduk kota ini ingin menyaksikan engkau berlayar ke lautan lepas."</span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">Semua orang berdebar menanti apa yang akan terjadi. Kapal itu bergerak sedikit demi sedikit. Lalu lepaslah ia dari sandarannya. Dengan tenang ia melaju ke laut. Penduduk kota bersorak gembira. Raja tak kurang pula gembira hatinya. Gadis dipeluknya.</span><span style="color:#336666;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">"Bagaimana engaku bisa membuat kapal ini berlayar?" tanya Raja dengan takjub bercampur heran.</span></p><p align="justify"><span style="color:#336666;">"Berkat rahmat Tuhan, Yang Mulia. Kebetulan kapal ini terbuat dari kayu pohon tua sahabat saya, " jawab Gadis dengan santun.</span><span style="color:#336666;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#336666;">Kemudian Gadis menceritakan seluruh kisah hidupnya kepada Raja. Hati Raja tersentuh. Sejak itu Gadis tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja.</span><span style="color:#336666;"><br /></span><span style="color:#336666;"><br /></span><span style="color:#336666;"><br /></span></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-88988517589524103752009-06-10T00:43:00.000-07:002009-06-10T00:44:40.267-07:00Chimera<p align="justify"><span style="color:#6600cc;">Zaman dahulu, ketika masih banyak hutan-hutan, hidup makhluk aneh yang mengerikan. Namanya Chimera.</span></p><p align="justify"><span style="color:#6600cc;">Orang-orang yang berakal sehat tidak mau menembus hutan. Mereka lebih suka menyeberangi lembah-lembah terbuka yang penuh sinar matahari.</span><span style="color:#6600cc;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#6600cc;">Tapi ada juga yang berani mencoba-coba. Adipati Baristone, misalnya. Dia bermaksud merambat hutan untuk dijadikan padang pengembala ternakanya.</span></p><p align="justify"><span style="color:#6600cc;">Karena merasa terganggu, Chimera keluar dari sarangnya, Makhluk itu memeng mengerikan. Kepalanya seperti kepala singa, berbadan kuda dan berekor ular. Mulutnya menyemburkan api seperti naga.</span><span style="color:#6600cc;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#6600cc;">Adipati Baristone pun sungguh nya ingin tahu, seperti apa sebenarnya wujud makhluk chimera itu.</span></p><p align="justify"><span style="color:#6600cc;">Sang Adipati sedang sedih. Tanpa sengaja dia membunuh adiknya waktubersama-sama berburu dahulu. Klau dia berhasil menumpas chimera, barulah dosanya terampuni begitulah pikiranya.</span><span style="color:#6600cc;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#6600cc;">“Akan ku bunuh Chimera, supaya orang-orang bisa hidup tenang,kalau tidak lebih baik akau mati saja,”Sumpahnya.</span></p><p align="justify"><span style="color:#6600cc;">Ayah adipati Baristone tidak tega. Dia dikaruniakanya kuda sembarani putih untuk membantu putranya. Ketika mendekati makhluk itu, kuda sembarani menuki dan Baristone melontarkan tombaknya. Tepat kena jantung binatang yang mengerikan itu.</span><span style="color:#6600cc;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#6600cc;">Chimera telah mati. Rakyat merasa gembira.</span><br /><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-18391633823273477762009-06-10T00:41:00.001-07:002009-06-10T00:41:47.010-07:00Burung Kaha<div align="justify"><span style="color:#666666;">Dahulu kala, hiduplah seorang nelayan yang sudah tua. Pagi-pagi sekali biasanya ia sudah pergi ke sungai untuk memancing. Ia akan berada di sungai seharian penuh. Jika hari sudah petang, barulah ia akan menghitung hasil pancingannya. Biasanya, tidak lebih dari dua ekor yang ia dapat. Kemudian ia akan menjual ikan itu ke pasar dan membeli sedikit makanan untuk dirinya dan juga istrinya. <br /><br />Suatu pagi, ketika ia sedang memancing munculah seekor burung yang sangat indah berwarna keperakkan. Burung itu bukan sembarang burung, ia adalah burung Kaha, yang sering menolong orang-orang miskin. Burung Kaha memperhatikan si nelayan menunggu dan menunggu sampai akhirnya ia berhasil menangkap seekor ikan.<br /><br />Lalu ia bertanya pada nelayan tua itu "Apa yang akan kamu perbuat dengan ikan ini kek?" <br /><br />"Aku akan menjualnya ke pasar, jadi aku bisa membeli sedikit roti untuk diriku dan istriku."<br /><br />Burung Kaha merasa kasihan kepada si nelayan tua. <br /><br />"Selama hidup, kakek sudah cukup menderita, karena itu aku akan membawakan untuk kakek seekor ikan yang besar setiap hari. Kakek bisa mendapatkan uang yang banyak dari situ."<br /><br />Saat malam hari tiba, burung Kaha terbang membawa seekor ikan yang besar dan menjatuhkannya di depan rumah nelayan tua. Keesokan paginya, nelayan tua memotong-motong ikan itu, menggorengnya, lalu menjualnya ke pasar. Begitulah yang terjadi setiap hari. Sedikit demi sedikit nelayan tua itu menjadi kaya.<br /><br />Bahkan ia dapat membeli sebuah rumah dengan taman di sekelilingnya.<br /><br />Suatu hari di pasar, nelayan tua mendengar utusan kerajaan mengumumkan, barang siapa yang bisa memberitahu di mana burung Kaha, ia akan diberi imbalan setengah dari kerajaan dan lima puluh kantong emas. Si nelayan tua amat tergiur dengan tawaran itu.<br /><br />"Adduuh burung itu kan sudah menyelamatkan aku dari kemiskinan. Mana mungkin aku mengkhianatinya? Tapi pasti menyenangkan jika dapat memiliki separuh dari kerajaan!"<br /><br />Utusan kerajaan melihat nelayan tua yang sedang resah. Ia yakin nelayan itu tahu sesuatu. Langsung saja ia membawa si nelayan menghadap raja.<br /><br />Di kerajaan, raja meminta tolong pada si nelayan tua. Ia sangat membutuhkan darah burung Kaha untuk mengobati matanya yang mulai buta. Nelayan tua yang berubah jadi serakah menjawab.<br /><br />"Raja yang terhormat, burung Kaha selalu datang ke rumahku tiap malam. Tapi, karena ia kuat dan besar maka aku tidak akan mampu menangkapnya sendirian. Aku butuh bantuan paling tidak seratus orang."<br />Raja mengabulkan permintaan nelayan tua. Malam harinya, seratus orang pelayan raja bersembunyi di sekitar rumah si nelayan tua menanti kehadiran burung Kaha . Tidak lama kemudian, datanglah burung Kaha. Nelayan tua berpura-pura mengundangnya makan malam. Ketika burung Kaha mulai menikmati makanan, nelayan tua segera berteriak.<br /><br />"Aku menangkapnya! Cepat keluar! Cepat!"<br /><br />Seketika, pelayan-pelayan itu berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya dan berusaha menangkap burung Kaha. Tetapi dengan sigap burung Kaha segera mengembangkan sayapnya dan terbang. Nelayan tua berhasil memegang kaki burung Kaha dan ikut bergelantungan di udara. Seorang pelayan lalu melompat dan berhasil memegang kaki si nelayan. Pelayan kedua segera memegang kaki pelayan pertama. Begitu seterusnya hingga mereka semua ikut bergelantungan. <br /><br />Burung Kaha terbang semakin tinggi melewati awan-awan. Lalu si nelayan tua melihat ke bawah. Ia sudah tidak bisa melihat bumi lagi! Tiba-tiba tangannya sudah tidak kuat menahan, dan jari-jarinya lepas dari kaki burung Kaha. Seketika itu, jatuhlah dia bersama seluruh pelayan-pelayan itu ke bumi dan akhirnya meninggal.<br /><br />Burung Kaha kembali ke kerajaan asalnya di langit dan tidak ada manusia yang pernah melihatnya lagi.</span><br /><br /><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-73542650365968461642009-06-10T00:37:00.000-07:002009-06-10T00:38:19.040-07:00Bunga Tebing<div align="justify"><span style="color:#666666;">Jaman dahulu, di bumi ini tidak ada tebing. Semua daratan berbentuk padang rumput yang sangat luas. Suatu hari, Dewa Padang Rumput sedang berjalan-jalan di padang rumput yang luas. Tetapi tidak ada satupun bunga disitu. Hanya ada rumput, rumput dan rumput.<br /><br />Bertanyalah Dewa Padang Rumput pada si Padang Rumput,"Mengapa hanya ada rumput disini? Kemanakah semua bunga-bungamu?"<br /><br />Padang Rumput menjawab, "Dewa-ku, aku tidak memiliki benihnya."<br /><br />Maka, Dewa Padang Rumput memanggil semua burung dan memberikan perintah,<br /><br />"Wahai, semua burung-burung di angkasa. Aku perintahkan kalian membawa semua benih dari berbagai jenis bunga-bungaan. Ambillah benih itu dari berbagai penjuru tempat dan taburkan di Padang Rumput."<br /><br />Keesokan harinya, tibalah beribu-ribu burung di Padang Rumput. Semua burung itu membawa beraneka benih bunga, lalu menaburkannya di Padang Rumput. Sesuai dengan perintah Dewa Padang Rumput.<br /><br />Tak lama kemudian, Padang Rumput telah dipenuhi dengan beraneka jenis bunga yang indah. Ada mawar, lili, anggrek, bunga desi, melati, lavender, dan masih banyak bunga lainnya. Bunga-bunga indah ini menghiasi Padang Rumput sepanjang musim semi.<br /><br />Dewa Padang Rumput datang mengunjungi Padang Rumput dan sangat terkesan. Tetapi ia tidak melihat bunga favoritnya. Ia lalu berkata kepada Padang Rumput,"Dimanakah bunga krisan, kesukaanku? Mengapa kau tidak memiliki bunga ini?"<br /><br />Sekali lagi, Padang Rumput menjawab, "Dewa-ku, aku tidak memiliki benih bunga krisan..<br /><br />Sekali lagi, Dewa Padang Rumput memanggil semua burung,"Wahai, semua burung di angkasa. Kuperintahkan kalian mengambil semua benih bunga yang ada di bumi dan taburkan benih itu di Padang Rumput."<br /><br />Tetapi, ketika Dewa Padang Rumput kembali mengunjungi Padang Rumput, ia masih belum menemukan bunga kesukaannya.<br /><br />"Mengapa masih belum ada bunga kesukaanku? Bunga krisan yang indah.."<br /><br />Kali ini Padang Rumput menjawab dengan sedih, <br /><br />"Dewa-ku, aku tidak bisa memelihara bunga itu. Angin selalu datang dan menyapunya dari tanahku. Selain itu, matahari selalu menyinari aku dengan teriknya. Benih-benih itu jadi kering dan terbang terbawa angin."<br /><br />Maka Dewa Padang Rumput segera berbicara dengan Petir dan dengan kekuatannya yang hebat, Petir segera menyerang Padang Rumput, menyisakan luka hitam terbakar. Berhari-hari Padang Rumput mengerang kesakitan.<br /><br />Tetapi, kemudian sebuah sungai kecil mengalirkan airnya membelah Padang Rumput, membawa lumut hitam. Sekali lagi, burung-burung datang menaburkan benih-benih bunga. <br /><br />Setelah waktu yang cukup lama, aliran air itu menggeser bebatuan yang ada di Padang Rumput membentuk sebuah tebing. Di tepi-tepi tebing bergantungan beragam jenis bunga yang indah, termasuk bunga krisan, kesukaan Dewa Padang Rumput. Sebuah pohon besar tumbuh melindungi bunga-bunga itu dari sinar matahari. <br /><br />Padang Rumput telah berubah menjadi tebing yang indah sekali. Kini, si Padang Rumput menjadi tempat kesukaan Dewa Padang Rumput untuk beristirahat.<br /><br /><br /><br />[Dongeng ini ditulis oleh Ralph Connor]</span><br /><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-88525327337176084172009-06-10T00:34:00.000-07:002009-06-10T00:36:05.298-07:00Bunga Cheri<div align="justify"><span style="color:#666666;">Di suatu puri, hiduplah seorang bangsawan dengan putri tunggalnya yang jelita, bernama Manuella. Orang-orang biasa memanggilnya Putri Manu. Sejak kecil Manuella tidak memiliki ibu lagi. Ayahnya sangat menyayanginya. Segala keinginan Manuella selalu dipenuhi. Ini membuat Manuella menjadi sangat manja. Semua yang ia inginkan harus ia dapatkan. Dan ayahnya belum pernah menolak keinginan Manuella. Malah selalu segera mengabulkannya. </span><span style="color:#666666;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#666666;">Salah satu kegemaran Manuella adalah berganti-ganti pakaian. Dalam satu hari ia dapat berganti pakaian empat sampai lima kali. Di kamarnya terdapat enam lemari pakaian yang indah. Namun ia belum merasa puas. </span></p><p align="justify"><span style="color:#666666;">"Ayah, lemari pakaian Manu telah penuh. Buatkan lemari pakaian yang baru dan besar ya," pintanya pada suatu hari. </span><span style="color:#666666;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#666666;">"Tentu anakku. Ayah akan segera memanggil tukang kayu terpandai di negeri ini. Dan menyuruhnya membuat lemari pakaian di sepanjang lantai atas puri ini." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Oh Ayah! Manu tidak sabar menunggu lemari itu selesai. Dan mengisinya dengan pakaian-pakaian yang indah." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Ayahnya tertawa sambil memeluk Manuella dengan penuh kasih sayang. Dibelainya rambut anaknya yang berwarna keemasan. Begitulah kehidupan Manuella dari tahun ke tahun.</span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Pada suatu hari di musim semi, ayahnya berteriak-teriak memanggil Manuella. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Manuella, kemari, Nak! Ayah ingin berbicara denganmu." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Seminggu lagi hari ulang tahun Manuella yang ke 17. Ayahnya akan mengadakan pesta besar untuknya. Anak-anak bangsawan dari berbagai negeri akan diundangnya. Mendengar hal itu Manuella menari-nari gembira. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Ayah, di pesta itu Manu ingin memakai gaun terindah. Dan ingin menjadi putri tercantik di dunia." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Anakku, kaulah putri tercantik yang pernah Ayah lihat! Ayah akan segera mendatangkan para penjual kain. Juga memanggil penjahit terkenal untuk merancang gaun yang terindah untukmu." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Keesokan harinya datanglah para penjual kain dari berbagai negara. Mereka membawa kain-kain yang terindah. Manuella sangat gembira. Setelah memilih-milih, ia menemukan selembar kain sutera putih, seputih salju. Sangat halus dan indah luar biasa. Seorang penjahit yang terkenal segera merancang, mengukur dan menjahit gaun yang sesuai dengan keinginan Manuella. Manuella sangat puas melihat gaun barunya. Segera dikenakannya gaun itu, lalu menari-nari di depan kaca. Rambutnya yang panjang terurai keemasan.</span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Hm, kau sungguh putri tercantik di dunia. Setiap tamu akan kagum padamu nanti," gumam Manuella sambil meneliti apa lagi yang kurang pada penampilannya. Tiba-tiba ia sadar, tidak ada hiasan di kepalanya. Ia segera mencari ayahnya, </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Ayah, Manu perlu hiasan untuk rambut Manu." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Anakku, kenakan saja mahkota emasmu. Cocok dengan rambutmu yang keemasan," kata ayahnya. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Akh, Manu bosan ayah.." jawab Manuella. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Bagaimana kalau mahkota berlian? Ayah akan segera memesannya jika kau mau," bujuk ayahnya. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Tidak, tidak! semua itu tidak cocok dengan baju dan rambut Manu" teriak Manuella. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Oh..anakku..mutiara yang dikenakan ibumu ketika ia menikah dengan ayah sangat indah, kau boleh memakainya nak..ayah ambilkan ya.."kata ayahnya dengan sabar. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Tidak. Manu ingin yang lain yang terindah," katanya sambil berlari menuju halaman. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Manuella, kembali anakku, sebentar lagi akan datang tamu-tamu kita" teriak ayahnya. Tapi Manuella tak mau mendengar ayahnya, ia berlari ke halaman yang dipenuhi dengan pohon-pohon cheri, dimana bunga-bunganya yang putih bersih memenuhi setiap ranting-rantingnya, sehingga cabang dan rantingnya yang berwarna cokelat hampir tak tampak lagi. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#666666;">Manuella berlari dari satu pohon ke pohon yang lain, dan tiba-tiba ia berpikir "Betapa indahnya bunga-bunga cheri ini, aku ingin merangkainya menjadi mahkotaku." Ketika tangannya akan meraih sebuah bunga, terdengarlah suara yang halus. </span></p><p align="justify"><span style="color:#666666;">"Jangan sentuh kami, jauhilah kami. Kalau tidak, kami akan mengubahmu menjadi bunga!" Manuella menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi ia tak melihat seorang pun. Ia berlari ke sebuah pohon yang lain, dan ketika ia akan memetik bunganya, terdengar lagi suara yang sama. </span><span style="color:#666666;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Dengan penuh kejengkelan berteriaklah Manuella sambil memandang pohon itu, "Hai, dengar! Tak ada seorang pun di negeri ini yang dapat melarangku, dan semua orang di negeri ini tahu, segala keinginanku harus terpenuhi! Siapa yang berani melarangku?" </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#666666;">Tiba-tiba bertiuplah angin dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara yang halus. "Dengar Manuella, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya. Tidak juga kau." </span></p><p align="justify"><span style="color:#666666;">"Bohong, bohong, selama ini segala keinginanku selalu dipenuhi, dan sekarang aku akan memetik bunga-bunga ini untuk mahkotaku, dan tak seorang pun berhak melarangku" teriak Manuella sambil menendang pohon-pohon disekitarnya. </span><span style="color:#666666;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#666666;">"Kau akan menyesal Manuella, jika tidak kau jauhi kami." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Dan ketika tangan Manuella menyentuh sebuah bunga, berubahlah ia menjadi bunga, di antara bunga-bunga cheri yang lain yang ada di pohon itu. Ia menangis menyesali segalanya, tapi sudah terlambat. Ia melihat tamu-tamu berdatangan. Ia mendengar suara tawa tamu-tamunya, tapi ia tak dapat ikut serta. Ia menangis dan menjerit-jerit, tapi tak seorang pun mendengarnya. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Hari semakin sore, lampu-lampu di seluruh puri dinyalakan, musik mulai diputar dan seluruh tamu yang diundang telah datang. Ayahnya bingung mencari Manuella diseluruh puri, kemudian ia bersama para pelayan mencari Manuella diseluruh halaman sambil berteriak. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Manuella..Manuella....dimana kau nak.." Manuella dapat mendengar suara ayahnya dan para pelayan yang berteriak-teriak memanggilnya. Ketika ia melihat ayahnya berdiri tepat di bawahnya, ia berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi ayahnya tak dapat mendengar suaranya dan ia mulai menangis, air matanya menetes dan jatuh ke kepala ayahnya. Manuella melihat bagaimana ayahnya mengusap air yang menetes di kepalanya, dan bergumam perlahan. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Akh ....mulai hujan, di mana engkau bersembunyi anakku.." Dengan menundukkan kepala ia kembali ke puri dan menyuruh seluruh pelayannya kembali karena dipikirnya sebentar lagi akan turun hujan. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Setelah tamu terakhir meninggalkan puri, dan musik dihentikan, sang ayah diam termangu di depan jendela. Lampu-lampu puri dibiarkan menyala semua, karena ia berpikir anaknya akan kembali dan ia akan dapat dengan mudah melihat jalan menuju puri. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Anakku, diluar dingin. Dimana engkau nak...kembalilah anakku. Ayah sangat kuatir" gumam ayahnya seorang diri dengan sedih. Tiba-tiba bertiuplah angin yang membawa sura jerit Manuella "Ayah..ayah...tolong Manu ayah...tolong..." </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">"Manuella...Manuella...di mana engkau nak, ayah datang...ayah akan segera datang nak" teriak ayahnya dengan penuh harapan. Ia segera membangunkan para pelayan untuk mencari Manuella di sekitar puri dan di seluruh halaman sekali lagi. Mereka mencari Manuella setapak demi setapak, tapi sampai pagi merekah, Manuella tak pernah ditemukan kembali. </span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;">Sang ayah telah putus asa, dan ia berhari-hari hanya duduk di depan jendela, menanti angin datang yang kadang-kadang membawa jeritan anak tercintanya. Ia yakin itu suara anaknya, tapi ia tak pernah tahu dari mana suara itu sampai akhir hayatnya. ***</span><span style="color:#666666;"><br /></span><span style="color:#666666;"><br /></span><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-56078210778418479142009-06-10T00:31:00.000-07:002009-06-10T00:32:48.372-07:00Ande - ande Lumut<div align="justify"><span style="color:#660000;">Dahulunya, Jenggala dan Kediri berada dalam suatu wilayah bernama Kahuripan. Tapi oleh Airlangga dibagi dua karena takut terjadi perang saudara. Sebelum meninggal, Airlangga sempat berpesan, Kediri dan Jenggala harus kembali disatukan dalam suatu ikatan pernikahan antara anak Jayengnagara (Penguasa Jenggal) dan anak Jayengrana (Penguasa Kediri). Tapi pernikahan bukan berdasarkan perjodohan melainkan atas dasar suka sama suka.<br /><br />Adalah Panji Asmarabangun (anak Jayengnagara) dan Sekartaji (anak Jayenggrana) secara rahasia sudah bersahabat sejak kecil. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan ditemani Simbok dan Prasanta, dua pembantu setia. Maka ketika kemudian keluarga Jayengnagara berkunjung kerumah Jayengrana, tentu saja Panji dan Sekar jadi senyum-senyum sendiri.<br /><br />Ternyata orangtua keduanya bersahabat karib dan mempunyai keinginan untuk saling berbesanan. Panji langsung saja minta diamankan saat itu juga. Sekar, meskipun malu-malu, sebenarnya menyetujui juga.<br /><br />Keputusan untuk menikahkan Panji (Temmy Rahadi) dengan Sekar (Imel Putri Cahyati) membuat Padukasari (isteri kedua Jayengrana) tidak terima. Karena Padukasari menginginkan Intan Sari yang bersanding dengan Panji. Padukasari kemudian menculik dan menyembunyikan Sekar bersama Candrawulan (Ibunda Sekar - isteri pertama Jayengrana) di rumah peristirahatan di luar kota.<br /><br />Mengetahui Sekar menghilang, Panji kecewa. Langsung menolak usul Padukasari yang minta pernikahan tetap berlangsung dengan Intan Sari sebagai mempelai wanitanya. Panji yang kecewa, berkenalan untuk mencari Sekar dan Candrawulan. Kemudian diangkat anak oleh ibu Randa yang berterimakasih karena sudah menolongnya. Panji berganti nama menjadi Ande-Ande Lumut.<br /><br />Sementara itu Candrawulan berhasil mengirim pesan ke Jayengrana melalui burung merpati. Sekar dan Candrawulan dibebaskan, Padukasari dan Intan Sari melarikan diri. <br /><br />Tapi Sekat tidak langsung senang. Karena Panji sudah pergi berkelana entah kemana. Sekar yang kecewa, memutuskan berkelana juga untuk mencari Panji bersama Simbok. Lalu ditampung dirumah ibu Wati yang memiliki 2 anak perempuan bernama Klenting Merah dan Klenting Biru.<br /><br />Ande-Ande Lumut terus tinggal bersama ibu Randa. Karena mau balas budi, ibu randa lalu membuka lowongan untuk siapa saja yang mau menjadi isteri Ande-Ande Lumut. Dan ternyata usaha ibu Randa memang ada hasilnya. Ande-Ande Lumut, alias Panji Asmarabangun bisa bertemu lagi dengan Sekartaji yang sudah ganti nama menjadi Klenting Kuning. Kedua sejoli tersebut lalu sepakat pulang untuk melanjutkan rencana menikah.</span><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-26484678108536677862009-06-10T00:28:00.000-07:002009-06-10T00:30:19.661-07:00Balon Keinginan<p align="justify"><span style="color:#006600;">Setiap warga kerajaan Khayali bisa mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Di sebelah timur istana Raja Don ada sebuah ruangan ajaib. Kamar Keinginan namanya. Kamar itu sangat luas. Di langit-langitnya yang tinggi terdapat Balon-Balon Keinginan berwarna-warni. Besar, kecil, berterbangan dan bergerak bebas. Permukaaan balon-balon itu berkilauan. Kalau saling bertabrakan akan memantul-mantul. </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Setiap warga Khayali boleh memasuki kamar itu. Jika membayar dua keping, mereka bisa menyewa alat penangkap balon. Warga tidak boleh membawa alat sendiri. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Berbagai macam balon keinginan ada di situ. Asal sabar, siapa saja bisa meraih balon-balon tersebut. Balon berisi keinginan yang mudah dikabulkan biasanya melayang lebih rendah. Gerakannya juga lebih lamban. </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tipo kecil adalah warna kerajaan Khayali. Ia sering berkhayal memiliki dua keping uang. Ia ingin menangkap balon “Pembuat PR”. Supaya ia tak perlu mengerjakan PR-nya setiap hari. Namun, Tipo merasa heran melihat ayahnya. Ayah Tipo, Pak Seblu, tidak tertarik pada balon keinginan. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#006600;">Pada suatu hari, Pak Seblu dipanggil menghadap Raja Don. Raja Don memerintahnya untuk membuat Gapura Istana yang baru. Gapura itu harus lebih bagus dan megah. Pak Seblu memang sudah biasa merancang rumah dan taman. Tapi baru kali ini mendapat pesanan dari Raja. Pak Seblu senang, tapi juga gugup dan takut akan mengecewakan Raja Don. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tiga hari Pak Seblu melamun saja di bawah pohon halaman Istana. Kertas dan pena tergeletak di sampingnya. Setelah itu, Pak Seblu mengurung diri di ruang kerjanya. Hanya sesekali ia keluar. Kumis dan jenggotnya memanjang tak terurus. </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tipo kesepian, karena biasanya ia bercanda dan mengobrol dengan ayahnya. Untung ibunya tahu kesepian hati Tipo. Setiap sore, saat ayahnya di ruang kerja, Tipo berjalan-jalan dengan Ibu. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">“Bu, kenapa Ayah tidak mengambil saja balon keinginan “Gapura Baru Istana”? Supaya Ayah tak perlu susah-susah bekerja.” </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Ibu tersenyum sedikit, lalu berkata, “Tipo, jawaban pertanyaan itu harus kamu temukan sendiri. Semua warga negeri ini harus menemukan jawaban masalahnya sendiri. Kalau belum mendapatkannya, dia tidak akan pernah menjadi dewasa.” Mendengar jawaban itu, Tipo hanya diam. Ia tidak mengerti maksud perkataan ibunya. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Suatu sore, Tipo mengisi waktunya dengan menyusun pasel dari Paman Miwin. Pasel kayu itu susah sekali. Tapi menurut gambar petunjuknya, pasel itu akan membentuk gambar jembatan gantung yang indah sekali. </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Esoknya, ayah Tipo sudah bercukur rapi. Dengan wajah berseri Pak Seblu berkata bahwa gambar rancangannya sudah selesai. Sambil sarapan ayah Tipo berkata ia akan menghadap Raja. Tipo senang sekali. “Ah, Ayah akan segera bisa menemaniku membuat pasel itu,” pikirnya. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Di jalan sepulang sekolah Tipo menemukan sekeping uang. “Wow, ini hari keberuntunganku,” serunya. Tetapi di rumah, Ayah belum pulang dari istana. Sampai petang juga belum. Akhirnya ketika Tipo sudah mengatuk barulah Ayah pulang. Rupanya Raja Don menyetujui rancangan Pak Seblu. Dan langsung menyuruh Pak Seblu untuk mempersiapkan bahan bangunan dan pekerjanya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tipo tidur dengan gelisah. “Ayah pasti akan sibuk lagi sampai Gapura itu selesai,” keluhnya. Bangun tidur, dipandanginya pazel yang setengah jadi itu. Rasanya Tipo ingin menendangnya. Mula-mula ia memang senang mengerjakannya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tetapi sekarang ia menemukan bagian yang sulit. Tipo ingin dibantu ayahnya. Sambil bersiap ke sekolah Tipo melamun. Lalu, “Aha, aku tahu!” Ia berlari menemui Ibu dan meminta uang, “Satu kepiiiiing, saja Bu, boleh ya?” rayunya. Ibu ingin menggembirakan hati Tipo, jadi ia memberikan satu keping. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tipo punya rencana. Sepulang sekolah, ia pergi ke Kamar Keinginan. Ia ingin menangkap balon “Gapura Baru Istana” supaya tugas Bapak segera selesai. Dimasukinya Kamar Keinginan itu dengan takjub. Kamar itu lebih indah dari cerita orang kepadanya. Pak Penjaga tersenyum-senyum melihat Tipo masih melongo. “Nak, ini tangga dan jaringnya. Maaf, saya hanya boleh membantu sampai di pintu saja”, katanya. “Selamat, semoga keinginanmu tercapai, Nak.” Lalu ditutupnya pintu besar itu. Bam! </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tipo repot menggeret tangga dan mengempit jaring yang lebih panjang dari tubuhnya. Dipanjatnya tangga di tengah ruangan. Matanya mencari-cari. Tak lama kemudian ia melihat balon “Gapura” sedang melayang menjauh. Susah payah diraihnya dengan jaring. Tidak berhasil. Dilihatnya balon “Pembuat PR” lewat. Dia tak mau balon itu. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Tipo akhirnya merasa lelah. Ia berbaring di lantai, beristirahat. Kemudian dicobanya lagi. Sampai pegal leher dan lengannya, tapi balon “Gapura” itu tak juga tertangkap. Ia tak mau menyerah. Ia ingin membebaskan ayahnya dari kerja kerasnya. Akhirnya yang tertangkap malah balon kecil bertulisan “Pasel Selesai”. Ingin dilepasnya lagi balon ini, dan menangkap balon “Gapura” itu. Tapi dia sudah sangat lelah. Diputuskannya untuk membawa balon itu pulang. Daripada uang dua kepingnya habis percuma. </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">Sampai di rumah, Ibu dan Ayah sudah cemas menunggunya. Mereka menemani Tipo ke kamarnya. Dan ajaib betul! Pasel jembatan itu sudah jadi! Indah sekali, tapi anehnya Tipo tidak terlalu senang. “Ah, lebih jika aku sendiri yang berhasil menemukan keping pasel yang tepat. Lebih puas!” katanya. </span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">“Sudah mulai besar anak kita, ya?” kata Ayah tersenyum pada Ibu. “Sudah tahu kalau bersusah payah mencapai keinginan akan lebih memuaskan.” </span></p><p align="justify"><span style="color:#006600;">“Sebetulnya, di Kamar Keinginan itu aku juga bekerja keras, lo, Yah, Bu. Padahal kupikir menangkap Balon Keinginan itu gampang,” celetuk Tipo. Mereka bertiga pun tertawa terbahak-bahak. Balon Keinginan</span><span style="color:#006600;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#006600;"><br /></span><br /><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-90785838947576345042009-06-10T00:25:00.000-07:002009-06-10T00:26:41.916-07:00Asal Mula Guntur<p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Dahulu kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka. </span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, "Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apapun." </span><span style="color:#cc33cc;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati. </span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan. Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan. </span><span style="color:#cc33cc;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari. " Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu," ujar Guru Shie. </span><span style="color:#cc33cc;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali. </span><span style="color:#cc33cc;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Sementara itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru Shie. </span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">"Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas jerih payahmu," kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti. </span><span style="color:#cc33cc;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur. </span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Ternyata Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#cc33cc;">Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya "guntur".</span><br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-49044230248999980082009-06-10T00:21:00.000-07:002009-06-10T00:24:05.743-07:00Anak Rajin dan Pohon Pengetahuan<p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Pada suatu waktu, hiduplah seorang anak yang rajin belajar. Mogu namanya. Usianya 7 tahun. Sehari-hari ia berladang. Juga mencari kayu bakar di hutan. Hidupnya sebatang kara. Mogu amat rajin membaca. Semua buku habis dilahapnya. Ia rindu akan pengetahuan. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Suatu hari ia tersesat di hutan. Hari sudah gelap. Akhirnya Mogu memutuskan untuk bermalam di hutan. Ia bersandar di pohon dan jatuh tertidur. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Dalam tidurnya, samar-samar Mogu mendengar suara memanggilnya. Mula-mula ia berpikir itu hanya mimpi. Namun, di saat ia terbangun, suara itu masih memanggilnya. "Anak muda, bangunlah! Siapakah engkau? Mengapa kau ada disini?" Mogu amat bingung. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Darimana suara itu berasal? Ia mencoba melihat ke sekeliling. "Aku disini. Aku pohon yang kau sandari!" ujar suara itu lagi. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Seketika Mogu menengok. Alangkah terkejutnya ia! Pohon yang disandarinya ternyata memiliki wajah di batangnya. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Jangan takut! Aku bukan makhluk jahat. Aku Tule, pohon pengetahuan. Nah, perkenalkan dirimu," ujar pohon itu lagi lembut. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Aku Mogu. Pencari kayu bakar. Aku tersesat, jadi terpaksa bermalam disini," jawab Mogu takut-takut. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Nak, apakah kau tertarik pada ilmu pengetahuan? Apa kau bisa menyebutkan kegunaannya bagimu?" tanya pohon itu. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Oh, ya ya, aku sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Aku jadi tahu banyak hal. Aku tak mudah dibodohi dan pengetahuanku kelak akan sangat berguna bagi siapa saja. Sayangnya, sumber pengetahuan di desaku amat sedikit. Sedangkan kalau harus ke kota akan membutuhkan biaya yang besar. Aku ingin sekali menambah ilmuku tapi tak tahu bagaimana caranya." </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Dengalah, Nak. Aku adalah pohon pengetahuan. Banyak sekali orang mencariku, namun tak berhasil menemukan. Hanya orang yang berjiwa bersih dan betul-betul haus akan pengetahuan yang dapat menemukanku. Kau telah lolos dari persyaratan itu. Aku akan mengajarimu berbagai pengetahuan. Bersediakah kau?" tanya si pohon lagi. Mendengar hal itu Mogu sangat girang. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Sejak hari itu Mogu belajar pada pohon pengetahuan. Hari-hari berlalu dengan cepat. Mogu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pengetahuannya amat luas. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Suatu hari pohon itu berkata, "Mogu, kini pergilah mengembara. Carilah pengalaman yang banyak. Gunakanlah pengetahuan yang kau miliki untuk membantumu. Jika ada kesulitan, kau boleh datang padaku." </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Mogu pun mengembara ke desa-desa. Ia memakai pengetahuannya untuk membantu orang. Memperbaiki irigasi, mengajar anak-anak membaca dan menulis... Akhirnya Mogu tiba di ibukota. Di sana ia mengikuti ujian negara. Mogu berhasil lulus dengan peringkat terbaik sepanjang abad. Raja amat kagum akan kepintarannya. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Namun, ada pejabat lama yang iri terhadapnya. Pejabat Monda ini tidak senang Mogu mendapat perhatian lebih dari raja. Maka ia mencari siasat supaya Mogu tampak bodoh di hadapan raja. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Tuan, Mogu. Hari ini hamba ingin mengajukan pertanyaan. Anda harus dapat menjawabnya sekarang juga di hadapam Baginda," kata pejabat Monda. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Silakan Tuan Monda. Hamba mendengarakan," jawab Mogu. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Berapakah ukuran tinggi tubuhku?" tanyanya. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Kalau hamba tak salah, tinggi badan anda sama panjang dengan ujung jari anda yang kiri sampai ujung jari anda yang kanan bila dirintangkan," jawab Mogu tersenyum. Pejabat Monda dan raja tidak percaya. Mereka menyuruh seseorang mengukurnya. Ternyata jawaban Mogu benar. Raja kagum dibuatnya. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Pejabat Monda sangat kesal, namun ia belum menyerah. "Tuan Mogu. Buatlah api tanpa menggunakan pemantik api." </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#3333ff;">Dengan tenang Mogu mengeluarkan kaca cembung, lalu mengumpulkan setumpuk daun kering. Ia membuat api, menggunakan kaca yang dipantul-pantulkan ke sinar matahari. Tak lama kemudian daun kering itupun terbakar api. Raja semakin kagum. Sementara Tuan Monda semakin kesal. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Luar biasa! Baiklah! Aku punya satu pertanyaan untukmu. Aku pernah mendengar tentang pohon pengetahuan. Jika pengetahuanmu luas, kau pasti tahu dimana letak pohon itu. Bawalah aku ke sana," ujar Raja. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Mogu ragu. Setelah berpikir sejenak, "Hamba tahu, Baginda. Tapi tidak boleh sembarang orang boleh menemuinya. Sebenarnya, pohon itu adalah guru hamba. Hamba bersedia mengantarkan Baginda. Tapi kita pergi berdua saja dengan berpakaian rakyat biasa. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Setelah bertemu dengannya, berjanjilah Baginda takkan memberitahukanya pada siapapun," ujar Mogu serius. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#3333ff;">Raja menyanggupi. Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah mereka di tujuan. "Salam, Baginda. Ada keperluan apa hingga Baginda datang menemui hamba?" sapa pohon dengan tenang. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Aku ingin menjadi muridmu juga. Aku ingin menjadi raja yang paling bijaksana," kata raja kepada pohon pengetahuan. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Anda sudah cukup bijaksana. Dengarkanlah suara hati rakyat. Pahamilah perasaan mereka. Lakukan yang terbaik untuk rakyat anda. Janganlah mudah berprasangka. Selebihnya muridku akan membantumu. Waktuku sudah hampir habis. Sayang sekali pertemuan kita begitu singkat," ujar pohon pengetahuan seolah tahu ajalnya sudah dekat. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Tiba-tiba Monda menyeruak bersama sejumlah pasukan. "Kau harus ajarkan aku!" teriaknya pada pohon pengetahuan. </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></p><div align="justify"><span style="color:#3333ff;">"Tidak bisa. Kau tak punya hati yang bersih." </span><span style="color:#3333ff;"><br /></span></div><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Jawaban pohon itu membuat Monda marah. Ia memerintahkan pasukannya untuk membakar pohon pengetahuan. Raja dan Mogu berusaha menghalangi namun mereka kewalahan. Walau berhasil menghancurkan pohon pengetahuan, Monda dan pengikutnya tak luput dari hukuman. </span></p><p align="justify"><span style="color:#3333ff;">Mereka tiba-tiba tewas tersambar petir. Sebelum meninggal, pohon pengetahuan memberikan Mogu sebuah buku. Dengan buku itu Mogu semakin bijaksana. Bertahun-tahun kemudian, Raja mengangkat Mogu menjadi raja baru. </span><br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-62164809056263905592009-06-10T00:14:00.000-07:002009-06-10T00:20:33.074-07:00Air Susu Di Balas Air Tuba<p align="justify"><span >Seorang petani tolol sedang asyik mengumpulkan kayu- kayu kering ketika dia mendengar jeritan. Dia menoleh kesana kemari, tapi tak melihat siapa- siapa. Jadi di teruskannya mengumpulkan kayu. </span></p><p align="justify"><span >Sekali lagi terdengar jeritan. Kali ini dia mencari- cari dengan lebih teliti akhirnya di lihatnya seekor ular terjepit diantara batu- batu. </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >Petani itu meloncat mundur karena takut. Ular adalah binatang licik. Tapi, binatang itu memohon mengiba iba “tolonglah aku tuan, keluarkan aku dari bawah batu ini.” </span></p><p align="justify"><span >“ya, aku bisa saja menolongmu,” jawab si petani, “tapi untuk apa? Kamu pasti akan mematuk aku dan menyemburkan racunmu. Bagaimanapun ular tetap ular.” </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >“astaga, aku tak kan pernah berbuat sekeji itu,” kata ular. </span></p><p align="justify"><span >Akhirnya dengan mengabaikan akal sehatnya petani itu mengangkat batu yang menindih ular. Dibiarkannya ular itu merayap keluar. </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >Tiba- tiba ular itu mematuknya. Nyaris! Untung petani itu masih sempat meloncat menghindarinya. </span></p><p align="justify"><span >“nah, benar, kan,” teriak petani.”kamu ular licik. Aku tahu itu. Mengapa kau membalas budi baik dengan perbuatan keji? Aku tak mengert.i” </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >“ada alasannya,” jawab ular. “memang begitulah hukum rimba. Air susu harus di balas dengan air tuba.” </span></p><p align="justify"><span >Petani itu tak sependapat dengan si ular. “tak semua orang setuju dengan pendapatmu itu,” katanya. “jika ada orang yang berbuat baik terhadapku, aku akan selalu mengingatnya dan berusaha membalas kebaikannya.” Ular itu hanya mendengus. </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >“kita bertaruh saja,” katanya. “ carilah siapa yang setuju dengan pendapatmu, maka kau akan kulepaskan.” </span></p><p align="justify"><span >Petani dan ular itupun berjalan bersama- sama. Mereka bertemu dengan seekor kuda tua yang melangkah terseok- seok. Ekornya yang berambut jarang dan lemah berusaha mengusir lalat yang merubung kakinya. </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >Si petani bertanya, “menurut pendapatmu, kuda tua, budi baik harus di balas dengan apa?” kuda menjawab, “dengan kejahatan.” </span></p><p align="justify"><span >“mengapa kau berpendapat begitu”, tanya petani kecewa. </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >“sebab,” kata kuda tua itu sambil berusaha duduik dengan enak,” waktu aku masih muda dan kuat, majikanku selalu merawatku dengan penuh kasih.” </span></p><p align="justify"><span >Kuda melanjutkan, “aku di beri kandang yang hangat dan jerami serta padi- padian yang cukup. Boleh makan sekenyang- kenyangku. Tapi... sekarang aku sudah tua dan lemah, aku diusirnya... begitu saja.” </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >“nah, apa kataku,” endus ular puas, “sekarang juga akan kupatuk engkau dengan gigiku yang berbisa.” </span></p><p align="justify"><span >“tunggu dulu,” tergesa- gesa petani itu berseru. “sebaiknya kita tanyakan pada yang lain lagi.” </span><span ><br /></span></p><div align="justify"><span >Keduanya meneruskan perjalanan. Di padang mereka melihat seekor domba sedang merumput. Petani bertanya padanya, “menurut pendapatmu, domba, budi baik harus di balas dengan apa?” </span><span ><br /></span></div><p align="justify"><span >“dengan kejahatan,” kata domba tanpa menoleh. </span></p><p align="justify"><span >“mengapa kau berpendapat begitu?” </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >Domba menjawab, “aku selalu memberikan wol untuk majikanku, tapi dia jahat. Di musim panas, dibiarkan nya buluku tumbuh lebat hingga aku pingsan kepanasan. Di musim dingin, di cukurnya buluku, hingga aku beku kedinginan.” </span></p><p align="justify"><span >Ular mendesis, “bagus! Sekarang kupatuk kau dengan taringku yang berbisa.” </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >“sabar... sabar,” cegah si petani. “pasti ada pendapat lain lagi.” </span></p><p align="justify"><span >Merekapun berjalan lagi. Untung, sebelum si ular melihat, petani itu telah melihat seekor rubah. Dia menyelinap dan berbicara dengan rubah itu </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >“ sebentar lagi aku akan menemuimu dengan seekor ular,” katanya menerangkan. “ kalau ku tanya, jawablah bahwa budi baik harus di balas dengan budi baik juga. Nanti ku beri kau anak domba, anak babi dan itik yang gemuk.” </span></p><p align="justify"><span >“boleh juga tawaranmu,” jawab rubah. Setelah itu, petani kembali berjalan menjejeri ular. </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan rubah. “menurut pendapatmu, rubah,” kata petani,” budi baik harus di balas dengan apa?” </span></p><p align="justify"><span >“dengan kebaikan,” jawab rubah tersenyum, terbayang olehnya daging lezat anak domba, anak babi, dan itik yang gemuk. Lalu ketiganya mengobrol, dan rubah mendengar bagaimana tadi ular terjepit di bawah batu. Dia tak percaya. Jadi mereka kembali ke tempat batu itu dan atas anjuran rubah, petani itu menindih kembali si ular dengan batu. Rubah benar- benar telah menyelamatkan nya. </span><span ><br /></span></p><p align="justify"><span >Tapi malamnya, waktu rubah menagih janji, ternyata petani itu telah mengunci erat- erat kandang domba, kandang babi, dan serta kandang itik. Malahan, petani itu mengusirnya dengan acungan senapan dan dua ekor anjing galak. </span></p><p align="justify"><span >“wah, kau jadi pintar, yah!” seru rubah. “memang benar kata ular itu!”</span><br /></p>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-15490136012220225722009-05-19T01:14:00.000-07:002009-05-19T01:15:34.667-07:00Asal Usul Tari Guel<div align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Tersebutlah dua bersaudara putra Sultan Johor, Malaysia. Mereka adalah Muria dan Sengede.<br /><br />Suatu hari, kakak beradik itu menggembala itik di tepi laut sambil bermain layang-layang. Tiba-tiba datang badai dahsyat sehingga benang layang-layang mereka pun putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang tersebut. Mereka lupa bahwa pada saat itu mereka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.<br /><br />Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.<br /><br />Benar juga apa yang mereka pikirkan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.<br /><br />Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mereka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi harinya mereka ditemukan oleh orang kampung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah diangkat anak oleh baginda raja.<br /><br />Beberapa waktu berlalu, rakyat Serule hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini dikarenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu membuat Raja Linge iri dan gusar, sehingga mengancam akan membunuh kedua anak tersebut. Malang bagi Muria, ia berhasil dibunuh dan dimakamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.<br /><br />Pada suatu saat, raja-raja kecil berkumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menunggu di halaman istana.<br /><br />Sambil menunggu ayah angkatnya, Sangede menggambar seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang kemudian meminta Sultan mencarikan seekor gajah putih seperti yang digambar oleh Sangede.<br /><br />Sangede kemudian menceritakan bahwa gajah putih itu berada di daerah Gayo, padahal dia sebenarnya belum pernah melihatnya. Maka, saat itu juga Sultan memerintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut guna dipersembahkan kepada Sultan. Raja Serule dan Raja Linge benar-benar kebingungan, bagaimana mungkin mencari sesuatu yang belum pernah dilihatnya.<br /><br />Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencarinya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya gajah putih itu adalah dirinya yang menjelma saat dibunuh oleh Raja Linge.<br /><br />Pagi harinya, Sangede dan Raja Serule yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Samarkilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa saat mencari, mereka berdua menemukan gajah putih itu sedang berkubang di pinggiran sungai.<br /><br />Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengenakan tali di tubuh gajah yang nampak penurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah putih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sangede tak mampu menahannya. Mereka hanya bisa mengejarnya hingga suatu saat gajah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.<br />Anehnya, gajah putih itu berhenti seperti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule mencoba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi, semuanya sia-sia.<br /><br />Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu tertarik juga oleh gerakan-gerakan Sangede, dan kemudian bangkit. Sangede terus menari sambil berjalan agar gajah itu mengikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun mengikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tarian Guel hingga sekarang.<br /><br />Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.<br /><br /></span><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8986105693059023811.post-35263462120915215522009-05-19T01:13:00.000-07:002009-05-19T01:14:20.631-07:00Banta Seudang<div align="justify"><span style="font-family:trebuchet ms;">Pada zaman dahulu, tersebutlah seorang raja yang memimpin wilayah Aceh. Sang Raja memimpin negeri dengan adil dan bijaksana. Ia didampingi oleh permaisuri yang cantik jelita dan berhati mulia. Sang Raja dan Permaisuri hidup berbahagia. Apalagi Permaisuri sedang mengandung anak pertama mereka. Setelah sembilan bulan, sang Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Betapa bahagianya sang Raja. Calon penggantinya kelak telah lahir. Bayi tersebut kemudian dinamakan Banta Seudang.<br /><br />Belum genap satu bulan usia Banta, tiba-tiba sang Raja sakit. Badannya panas dan matanya menjadi buta. Cobaan itu amat menyedihkan sang Raja dan Permaisuri. Beberapa tabib telah dipanggil untuk mengobati sang Raja. Namun, semua usaha tabib tak membuahkan hasil. Sang Raja amat resah. Bila ia masih buta, tentu tidak leluasa memimpin rakyatnya, padahal putranya masih bayi. Ia khawatir rakyatnya akan telantar. Maka sang Raja menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada adiknya sampai Banta dewasa.<br /><br />Rupanya adik Raja sangat jahat. Tak lama setelah kekuasaan diserahkan kepada adik Raja, ia menyuruh Raja dan keluarganya tinggal di sebuah rumah sederhana yang letaknya jauh dari istana. Ia sengaja mengasingkan keluarga Raja agar ia dapat selamanya berkuasa. Setiap hari, adik Raja mengirimkan satu tabung bambu beras bersama ikan dan sayuran sebagai jatah makan untuk keluarga itu. Kehidupan Raja dan keluarganya yang dulu berkecukupan berubah menjadi kekurangan. Mereka harus bergantung kepada pemberian adik Raja. Kadang-kadang, adik Raja tak mengirimkan jatah sama sekali sehingga keluarga Raja kelaparan. Namun demikian, sang Raja dan Permaisuri tetap bersabar. Mereka yakin, siapa yang berbuat jahat, suatu saat akan menerima hukumannya.<br /><br />Waktu terus berlalu. Banta pun tumbuh dalam keadaan serba kekurangan. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan yang pemberani, jujur, dan tahu sopan santun. Ia pun tahu penderitaan yang dialami keluarganya akibat kejahatan pakciknya sendiri. Lama-kelamaan, Banta tidak tega menyaksikan penderitaan keluarganya. Apalagi saat melihat ayahnya yang buta. Ia bertekad akan mencarikan obat untuk ayahnya.<br /><br />“Ayah, Ibu, Banta ingin sekali merantau guna mencari obat bagi ayah,” kata Banta. Raja dan Permaisuri melepaskan kepergian Banta dengan doa.<br /><br />Singkat cerita, Banta sampai di sebuah hutan. Suatu saat, ia salat dan menjadi makmum seorang aulia. Selesai salat, Banta bercerita kepada aulia itu bahwa ia ingin mencari obat bagi ayahnya yang buta. Aulia itu menyarankan untuk mengambil bunga bangkawali yang terdapat di sebuah kolam sebagai obat bagi ayah Banta.<br /><br />Maka berjalanlah Banta menuju hutan yang dimaksud oleh aulia itu. Rupanya di tengah hutan itu terdapat sebuah taman yang indah dengan sebuah kolam berair jernih dan sebuah gubuk sederhana. Di dalam gubuk itu tinggal Mak Toyo, penjaga taman itu. Sebenarnya, taman itu milik seorang raja yang tinggal amat jauh dari hutan itu. Sang Raja memiliki tujuh putri yang semuanya berparas cantik. Konon, setiap putri itu memiliki baju ajaib. Bila baju itu dikenakan maka orang yang memakainya dapat terbang seperti burung.<br /><br />Banta kemudian tinggal bersama Mak Toyo. Setiap hari ia merawat taman itu. Suatu Jumat, tujuh putri Raja mandi di kolam. Banta amat terpesona dengan kecantikan mereka. Saat mereka beristirahat, Mak Toyo turun ke kolam, kemudian menepuk air tiga kali. Tiba-tiba muncul bunga bangkawali.<br /><br />“Mak, bolehkah bunga bangkawali itu kuminta untuk obat ayahku?” pinta Banta.<br /><br />Mak Toyo memberikannya. Betapa senang hati Banta. Ia ingin segera pulang. Namun sebelumnya, ia ingin menikahi salah satu putri Raja. Maka Banta menunda kepulangannya.<br /><br />Hari Jumat berikutnya, ketujuh putri Raja itu kembali mandi di kolam. Saat mereka mandi itulah, diam-diam Banta mencuri salah satu baju terbang mereka yang tergeletak di atas batu. Saat ketujuh putri itu ingin pulang, mereka kebingungan karena baju terbang si Bungsu hilang sehingga tak bisa pulang. Terpaksa si Bungsu tinggal bersama Mak Toyo.<br /><br />Setelah beberapa lama tinggal di rumah Mak Toyo, si Bungsu jatuh cinta pada Banta yang baik hati itu. Demikian pula Banta. Keduanya kemudian menikah. Beberapa hari setelah pernikahan, Banta mengajak si Bungsu dan Mak Toyo menemui orangtuanya. Tak lupa, bunga bangkawali ia bawa serta.<br /><br />Kedatangan Banta disambut gembira oleh Raja dan Permaisuri. Banta segera mengambil semangkuk air. Bunga bangkawali ia rendam di dalamnya, kemudian airnya dikompreskan ke wajah sang Ayah. Tak lama kemudian, ayahnya dapat melihat kembali.<br /><br />Keesokan harinya, ayah Banta datang ke istana menemui adiknya. Melihat kedatangan kakaknya yang tidak buta lagi, sang Adik amat gugup. Ia juga merasa bersalah karena telah menelantarkan kakak beserta keluarganya itu.<br /><br />“Maafkan saya, Bang. Selama ini saya telah menelantarkan keluarga Abang. Sekarang saya serahkan kembali tahta Abang,” kata sang Adik.<br /><br />Ayah Banta pun kembali menjadi raja. Banta hidup berbahagia bersama ayah ibu beserta istrinya dan Mak Toyo. Beberapa waktu kemudian Banta dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia memimpin negeri dengan adil dan bijaksana.<br /><br /></span><br /></div>Pendongeng di Negeri Dongenghttp://www.blogger.com/profile/17800859096655613936noreply@blogger.com1