Rabu, Juni 24, 2009

PENGEMIS DAN PUTRI RAJA

Tersebutlah seorang putri raja yang cantik jelita. Karena bergelimang harta, Sang Putri mempunyai sifat buruk. Ia selalu menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu.

Sedangkan Sang Raja tak pernah menolak kemauan putrinya.Salah satu kegemaran Sang Putri adalah mengumpulkan perhiasan dari intan permata. Ia sudah memiliki berlaci-laci perhiasan dari berbagai negeri.

Suatu saat Raja mengajak Sang Putri berkeliling kota. Setelah singgah di berbagai tempat, mereka berhenti di depan bangunan indah. Di depan bangunan itu terdapat air mancur. Sang Putri sangat terpesona dengan air mancur yang elok itu. Air mancur itu memancarkan butir-butir air yang sangat indah. Karena terkena sinar matahari, butiranbutir air itu memancarkan cahaya kemilau bak intan permata. Sang Putri semakin terpesona.

Sepulang dari perjalanan, Sang Putri minta dibuatkan air mancur di depan istana. Raja mengabulkan permintaan itu. Maka berdirilah air mancur nan megah seperti keinginan Sang Putri. Bukan main gembiranya Sang Putri. Tiap hari ia memandangi air mancur itu.

Suatu hari ketika Sang Putri duduk di pinggir air mancur itu, jari manisnya kejatuhan air mancur. Butiran air itu menjalar melingkari jari manis Sang Putri laksana cincin. Begitu tersinari matahari, lingkaran air itu memancarkan cahaya bak cincin permata. Sang Putri berdecak kagum. Ia berlari menemui Sang Raja.

"Ayahanda, saya ingin dibuatkan cincin permata dari butiran air," pinta Sang Putri.

Raja tak kuasa menolak keinginan putrinya. Segera Sang Raja memerintahkan abdi kerajaan mencari ahli permata.

Datanglah seorang ahli permata. Raja lalu menceritakan keinginan putrinya. Sang ahli permata mendengarkan dengan seksama.

"Ampun, Baginda. Hamba baru kali ini mendapatkan permintaan seperti itu. Hamba minta waktu untuk memikirkannya," kata ahli permata. Ia tampak kebingungan.

"Kalau begitu, kuberi waktu dua hari. Tapi, kalau gagal, penjara telah menantimu!" tukas Sang Raja.

Dua hari kemudian, ahli permata itu datang untuk memberitahu bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan Sang Putri. Sesuai perjanjian, ahli permata itu dijebloskan ke penjara. Kemudian Sang Raja memerintahkan mencari ahli permata lain. Tapi, beberapa ahli permata yang datang ke istana mengalami nasib serupa dengan ahli permata pertama.

Raja sudah putus asa. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi demi putri kesayangannya. 

Sementara itu, Sang Putri terus menuntut agar permintaannya dikabulkan. Tiba-tiba seorang pengemis tua terbungkuk-bungkuk mendatangi istana.

"Kamu ahli permata?" sergah Sang Raja.

"Bukan, Baginda. Hamba hanya seorang pengemis. Tapi, mengapa Baginda menanyakan ahli permata?" Si Pengemis balik bertanya.

Lalu Sang Raja bercerita tentang keinginan putrinya.

"Izinkan hamba mencobanya, Baginda," ujar Si Pengemis kemudian.

"Awas, kalau gagal, penjara tempatmu!" ancam Sang Raja.

Si Pengemis kemudian memanggil Sang Putri.

"Tuan Putri, tolong bawa butiran air itu kemari!" pinta Si Pengemis kepada Sang Putri seraya menunjuk air mancur di depan istana.

Sang Putri menuruti saja perintah Si Pengemis karena ia sudah tak sabar memiliki cincin yang diidamkannya. Begitu berada di sisi air mancur ia menengadahkan tangannya. Sebutir air jatuh tepat di atas telapak tangannya. Cepat-cepat ia bawa butiran itu ke pengemis.

Tapi, sebelum sampai ke pengemis, butiran air itu menguap habis. Sang Putri mengulanginya. Kini ia berlari. Namun apa daya, tetap saja ia tak mampu membawa butiran air. Memang hari itu sedang sangat panas sehingga membuat butiran air cepat menguap.

Dan ini memang siasat Si Pengemis, ia datang pada saat cuaca panas.

"Kalau butiran airnya tidak ada, bagaimana hamba bisa mengabulkan permintaan Sang Putri?Saya kira tak seorang pun mampu membuat cincin kalau bahannya tidak ada. Hamba khawatir Tuan Putri yang cantik dan pintar ini akhirnya mendapat julukan putri bodoh karena menginginkan sesuatu yang tak ada."

Sesudah berkata demikian, Si Pengemis dengan tenang meninggalkan istana. Apa yang dikatakan Si Pengemis sangat menyentuh hati Sang Putri. Sang Putri menyadari kekeliruannya. Lalu ia meminta Raja membebaskan semua ahli permata. Seluruh perhiasan intan permata yang dimiliki Sang Putri dibagikan kepada ahli permata sebagai ganti rugi.

Sejak saat itu Sang Putri hidup sederhana dan tidak pernah minta yang bukan-bukan.

PENCULIKAN TABIB ISTANA

Tabib Akhsay sudah lebih sepuluh tahun menjadi tabib istana. Cara pengobatannya dengan ramuan obat yang sederhana telah berulang kali menyembuhkan penyakit keluarga istana. Itu sebabnya berita hilangnya Tabib Akhsay dari rumahnya membuat seisi istana cemas.

Patih Rangga segera dititahkan Baginda Raja untuk mencari ke mana hilangnya Tabib Akhsay. Begitu mendapat kepercayaan itu segera saja Patih Rangga menuju rumah Tabib Akhsay. Ditemuinya Radev di dalam rumah itu. Patih Rangga mengenal Radev sebagai asisten Tabib Akhsay.

"Ceritakan padaku, kapan terakhir kamu melihat Tabib Akhsay?" tanya Patih Rangga menyelidik.

"Kemarin siang Tabib Akhsay memberitahu saya hendak mencari beberapa daun untuk ramuan obat. Tabib Akhsay pergi ke selatan menuju Danau Perak. Ada beberapa daun yang hanya dapat ditemukan di sana," tutur Radev yang masih belia.

Patih Rangga memutuskan untuk menelusuri jejak hilangnya Tabib Akhsay. Dengan menunggang kuda ia segera menuju ke selatan. Setiap tiba di satu kampung Patih Rangga berhenti sebentar menanyakan perihal Tabib Akhsay.

"Ya, kami pernah melihatnya kemarin. Ia menunggang kuda menuju selatan," kata penduduk kampung pertama yang Patih Rangga tanyai. Jawaban serupa juga diberikan penduduk pada beberapa kampung berikutnya. Sampai kampung ke lima, para penduduknya memberi jawaban yang berbeda.

"Tidak. Kami tidak melihat Tabib Akhsay melewati kampung kami. Biasanya Tabib Akhsay berhenti dulu di kampung ini bila hendak menuju Danau Perak karena inilah kampung terakhir menuju Danau Perak," kata kepala kampung.

Patih Rangga mengerutkan keningnya sebentar. Berarti Tabib Akhsay hilang antara kampung ke empat dan ke lima. Memang ada hutan kecil yang memisahkan dua kampung itu. Patih Rangga memutuskan untuk kembali ke hutan kecil itu. Ia tidak menolak ketika kepala kampung kelima menawarkan seorang penduduk yang mahir melacak jejak untuk menemaninya. Setibanya di hutan kecil dari kejauhan Patih Rangga melihat kuda putih milik Tabib Akhsay. Bersama Ranjit yang menemaninya, Patih Rangga menghampiri kuda putih itu. Sementara Ranjit mengamati jejak yang tertinggal di tanah.

"Patih Rangga, menurut saya Tabib Akhsay telah diculik oleh penduduk kampung Kaki Besar," kata Ranjit kemudian.

"Kampung Kaki Besar? Aku baru mendengarnya."

"Di sebelah timur hutan ini ada lembah yang dihuni satu suku yang memiliki telapak kaki besar. Mereka memegang teguh aturan nenek moyang mereka untuk tidak memakai alas kaki ke mana pun mereka pergi," jelas Ranjit.

"Kalau begitu mari kita ke sana," ajak Patih Rangga.

Letak perkampungan yang mereka tuju sebenarnya tidak jauh. Tapi karena jalan menuju kampung itu sangat curam dan licin, terpaksa mereka turun dari kuda dan berjalan kaki. Saat melewati jalan setapak tiba-tiba telinga Patih Rangga menangkap suara yang amat dikenalnya. Suara siulan yang biasa dilakukan Tabib Akhsay saat mencari dedaunan untuk ramuan obat.

"Suara itu datangnya dari sebelah sana," Ranjit memberi petunjuk ke samping kiri jalan setapak. Buru-buru Patih Rangga menerobos semak-semak. Dari sela dedaunan yang lebar, Patih Rangga melihat Tabib Akhsay tengah sibuk mengumpulkan dedaunan, namun di belakangnya dua orang berwajah seram terus menguntit sambil memegang tombak tajam.

Dugaan Patih Rangga bahwa Tabib Akhsay diculik semakin kuat. Ia segera berbisik pada Ranjit. Tak berapa lama kemudian keduanya bergerak pelan mendekat dari belakang Tabib Akhsay. Hupf, dengan sekali loncatan keduanya berhasil melumpuhkan dua orang di belakang Tabib Akhsay.

"Patih Rangga, biarkan mereka," teriak Tabib Akhsay yang menyaksikan kegaduhan kecil itu.

"Bukankah mereka yang menculik Anda, Tabib Akhsay?" tanya Patih Rangga heran.

"Mulanya memang begitu," jelas Tabib Akhsay. Mereka berdua mencegatku dalam perjalanan ke Danau Perak. 

Lantas mereka membawaku secara paksa ke kampung mereka. Kupikir tadinya mereka bermaksud menyanderaku dan minta tebusan kepada istana. Tapi rupanya mereka menculikku karena butuh pertolonganku. Di kampung mereka berjangkit penyakit yang disebabkan oleh sejenis cacing tanah."

Patih Rangga manggut-manggut. Ia akhirnya melepaskan dua orang yang dicekalnya. 

"Bukankah setiap kampung sudah punya seorang tabib?" Patih Rangga mengingatkan.

"Tabib mereka sudah meninggal sebulan lalu dan belum ada yang menggantinya."
"Tapi Anda tidak bisa terlalu lama di sini karena istana membutuhkan Anda, Tabib Akhsay."

"Saya mengerti. Jika tidak keberatan, sebaiknya Patih Rangga kembali ke istana lebih dulu. Beritahukan perihal saya kepada Baginda Raja. Mintakan beberapa orang untuk membantu saya di sini dan tunjuk pula seorang tabib untuk ditempatkan di kampung mereka. Satu lagi yang penting, agar Baginda Raja membuat perintah kepada penduduk kampung mereka agar mau menggunakan alas kaki. Tanpa titah Baginda, mereka tidak mau melanggar aturan nenek moyang mereka."

Patih Rangga setuju dengan usul Tabib Akhsay. Ia segera meninggalkan Tabib Akhsay yang ternyata sedang mencari daun untuk ramuan obatnya. Sedangkan dua orang yang mengawalnya itu sengaja diperintahkan untuk menjaga Tabib Akhsay dari serangan binatang liar. Sementara Ranjit diminta untuk turut menemani Tabib Akhsay.

Ketika Patih Rangga menyampaikan laporannya kepada Baginda Raja, terlihat wajah Baginda sangat sedih. Ia menyesali dirinya yang tidak memperhatikan kesehatan rakyatnya hingga ia tak tahu ada seorang tabib yang ditempatkan di satu kampung telah meninggal. Padahal kampung itu sangat memerlukan pertolongan kesehatan.
Esok paginya satu rombongan dari istana diutus menuju Kampung Kaki Besar. Mereka membawa beberapa tenaga tabib dan obat-obatan. Selain itu Patih Rangga membawa surat perintah agar penduduk Kampung Kaki Besar mau menggunakan alas kaki.

"Baginda juga memberi bantuan ratusan pasang alas kaki bagi penduduk Kampung Kaki Besar agar mereka segera melakukan keputusan Baginda. Sumber penyakit mereka disebabkan oleh cacing tanah dan itu hanya dapat dicegah dengan memakai alas kaki," tutur Patih Rangga kepada kepala Kampung Kaki Besar.

Setelah Kepala Kampung memakai alas kaki, para penduduk pun mau memakainya. Hanya saja karena sebelumnya mereka tidak biasa menggunakan alas kaki, ukuran telapak kaki mereka memang besar-besar. 


Pelita Ajaib

Zaman dulu, disuatu kerajaan besar, hiduplah siorang prajurit namanya Mark. Mark adalah perajurit yang gagah berani. Beratus kali sudah dia berperang membelah negaranya. Suatu hari, ketika raja sedang berkeliling di iringin pembesar-pembesar kerajaan, Mark maju kedepan lalu memohon. 

“ Yang mulia,” katanya, “bertahun-tahun aku mengabdi, tapi kini, untuk hidupun gajiku tidak cukup. Bolehkah hamba mohon kenaikan gaji?” 

Raja marah karna merasa terganggu. 

“Tak tahu sopan santun!”bentak raja. 

“Mingir! Atau...kusuruh pengawal memenjarahkan kamu.”

Mark kembali kepondoknya yang rewot. Dibukanya pakaian prajurit, dilembarkannya tanda-tanda jasanya,lalu dia mengambil pedangnya dan melangkah pergi. Setelah berjalan berjam-jam,sampailah dia kehutan lebat. Dalam hutan itu ada pondok nenek sihir. 

Penyihir itu mau memberinya penginapan kalau Mark bersedia turun kesumur tua, mengambilkan sebuah pelita bernyala biru. Mark setuju. Dia turun kedalam sumur,duduk dalam keranjang yang diikat tali dan talinya dipegangi sipenyihir. Mark menemukan pelita itu dan penyihir mulai menaikannya keatas. Tetapi sesungguhnya dia berniat mengelabuhi Mark. 

“berikan pelita itu padaku,” serunya, “nanti ku tarik kau keatas.” 

Tapi mark sama cerdiknya dengan si penyihir 

“kau pasti akan menipuku,” kata mark.

“jika pelita ini sudah kau pegang, kau tak pernah membutuhkan aku lagi.” 

Dengan marah penyihir mencampakkan tali. 

“pikirkan baik- baik kata- katamu,” teriaknya. 

Untunglah mark tidak cedera. Untuk menenangkan hatinya dia menyalakan rokoknya dengan pelita itu. Tiba- tiba muncullah peri hitam di hadapannya. 

“ada perintah, tuanku?” kata peri itu. Mark terkejut, tapi cepat- cepat dia berkata, “keluarkan aku dari sini.” 

Peri itu tidak ahanya mengeluarkan mark dari dalam sumur, tapi juga memberinya rumah serta harta berlimpah- limpah. 

“jika tuan ingin memanggilku,” kata peri hitam, “nyalakan pipa tuan dengan pelita ini... aku akan datang.”

Mark menikmati hidupnya yang mewah, tapi tak lama. Segera dia ingat bagaimana raja memperlakukannya dengan tidak adil. 

Dinyalakan rokoknya dengan pelita itu, dan pushhh... muncullah si peri hitam. 

Kata mark, “culiklah putri raja. Bawa kemari!” 

Ketika putri malang itu tiba di rumahnya, mark memperlakukannya seperti pelayan. Keesokan harinya, di kembalikannya putri itu ke istana. 

Raja sangat marah waktu putrinya mengatakan bahwa selop peraknya tertinggal di sebuah rumah yang tak dikenal. Di kerahkannya prajurit kerajaan untuk mencari selop perak itu. Akhirnya ketemu. 

Mark di tangkap dan di hukum mati. Tapi dia mengajukan permohonan terakhir, tentu saja untuk menyalakan rokok dan pelitanya. 

Ketika peri hitam muncul, mark menyuruh mengambil tongkat dan memukuli para pengawal, bahkan juga sang raja. Raja menjadi sadar. Mark diampuni dan di nikahkan dengan putrinya. Kini raja tak lagi mudah marah. 

Dan si peri hitam? Dia tetap mengabdi mark. Dia selalu siap melayani mark dan istrinya agar mereka selalu hidup bahagia.

Patung Yang Bisa Bicara

Dahulu kala ada seorang kaisar yang sangat berkuasa. Ia memiliki satu peraturan yang sangat aneh. Jika ada yang bekerja di hari ulang tahun anaknya akan dijatuhi hukuman. Agar peraturan ini bisa berjalan baik dan dipatuhi oleh rakyat, harus ada yang mengawasinya. Sang kaisar meminta ahli sulap di negerinya untuk membuat alat yang bisa memberi tahu nama si pelanggar.

Tak lama, ahli sulap telah membuat patung indah. Patung itu ditempatkan di alun-alun ibukota. Keistimewaan patung itu adalah ia dapat berbicara, memberikan informasi siapa yang telah melanggar peraturan sang kaisar. Siapapun yang bekerja di hari ulang tahun sang pangeran pasti diketahui oleh patung yang bisa berbicara. 

Ada seorang tukang kayu bernama Fokus. Ia adalah pekerja yang rajin. Setiap hari ia bekerja dari pagi sampai malam. Suatu waktu, tibalah hari ulang tahun sang pangeran. Tanpa peduli peraturan kaisar, Fokus tetap bekerja di hari itu.

Keesokan paginya, Fokus berjalan menuju alun-alun kota. Ia lalu mendekati patung yang bisa berbicara dan berkata,

"Oh, patung! Kau telah menyebut banyak nama penduduk negeri ini. Kau membuat mereka dijatuhi hukuman. Aku bersumpah, kalau kau mengadukan aku, aku pasti akan menghancurkanmu."

Tak lama setelah itu, kaisar mengirimkan pasukannya untuk mendengarkan laporan patung ajaib, apakah ada yang melanggar peraturan kaisar. Saat melihat pasukan itu, patung ajaib hanya berkata begini, "Kalau aku mengatakan yang sebenarnya, aku akan dihancurkan".

Para pasukan kembali ke istana dan melaporkan apa yang mereka dengar kepada kaisar. Kaisar jadi marah. Ia lalu kembali mengirimkan pasukannya ke alun-alun dan memaksa si patung ajaib untuk menyebut nama si pelanggar.

Para pasukan mematuhi perintah kaisar. Mereka mendekati patung dan memintanya mengatakan yang sebenarnya. Patung itu lalu berkata, "Tangkaplah Fokus, si tukang kayu. Kemarin ia melanggar peraturan kaisar, dan pagi ini ia mengancam akan merusakku."

Fokus, si tukang kayu pun ditangkap dan membawanya ke hadapan Kaisar. Ia pun ditanya mengapa tetap bekerja di hari ulang tahun pangeran. 

Fokus lalu menjawab,"Yang Mulia, tidak mungkin bagiku untuk mematuhi peraturan itu. Aku harus mendapatkan 8 koin uang penny setiap hari. Karena itu, aku terpaksa harus bekerja."

Kaisar tak mengerti jawaban Fokus. Ia lalu meminta penjelasan lebih lanjut. 

Fokus pun menjelaskannya,"Begini, Yang Mulia. Setiap hari, sepanjang tahun, aku harus membayar utang 2 penny yang aku pinjam dari ayahku ketika aku masih anak-anak. Sekarang ayahku miskin dan membutuhkan bantuanku. Jadi aku mengembalikan apa yang sudah diberikannya. Lalu, 2 penny lagi untuk aku pinjamkan kepada anakku. Ia sedang sekolah, Yang Mulia. Jika aku bangkrut, semoga ilmu yang didapatnya bisa menolongku. 2 penny lagi untuk istriku. Sisa 2 penny untuk diriku sendiri. Untuk makan dan minum. Semuanya 8 penny. Aku tidak bisa melakukan ini semua tanpa bekerja setiap hari."

Kaisar kini mengerti bahwa rakyatnya harus bekerja setiap hari. Ia lalu mengijinkan Fokus pergi dan memintanya untuk terus bekerja dengan rajin.

Di hari yang sama, Kaisar membatalkan peraturannya yang aneh itu. Semua orang bebas bekerja kapanpun juga. Patung ajaib yang bisa berbicara pun jadi menganggur. Ia menjadi hiasan kota, dengan sedikit renovasi. Yaitu tambahan ukiran koin 8 penny di tangannya.




Pasukan Raja Yang Malas

Jaman dahulu kala, hiduplah seorang raja yang mempunyai pasukan yang paling malas di dunia. Mereka selalu terlambat bertugas, dan mereka tidak pernah berpakaian dengan benar. Beberapa memakai seragamnya terbalik. Beberapa kehilangan kancingnya. Beberapa memakai sepatu di kaki yang salah. Satu prajurit bahkan pernah kehilangan celananya.

Ini semua karena mereka tidak bisa bangun pagi. Bahkan prajurit yang harus meniup terompet untuk membangunkan yang lain tidak bisa bangun pada waktunya.

"Kalian semua sangat memalukan! Sesuatu harus dilakukan. Besok, aku akan membangunkan kalian semua dengan tembakan!"

Tapi para prajurit itu tidak mau bangun pagi. Jadi malam itu, sebelum mereka tidur, mereka merencanakan sesuatu. Keesokan paginya, raja menyalakan meriam terbesar di istana. BUM! Seluruh istana bergetar. Raja menunggu dan menunggu, tapi tidak ada prajurit yang muncul. Mereka semua masih tidur nyenyak.

Para prajurit itu sangat cerdik. Sebelum tidur, mereka menutupi telinga mereka dengan bantal. Mereka tidak mendengar apa-apa. Lalu ratu berjanji kalau ia yang akan membangunkan para prajurit besok pagi. 

Pagi-pagi sekali, sang ratu memasang lonceng di menara, di depan kamar para prajurit. Ia menarik talinya sekeras mungkin. Suara dentangan bel terdengar sampai jauh sekali. Sang ratu menunggu dan menunggu, tapi tidak satu pun prajurit muncul. Mereka masih tidur nyenyak. Kali ini, para prajurit yang cerdik itu menyumbat telinga mereka dengan kapas!

Sekarang giliran pangeran ingin mencoba membangunkan para prajurit itu. Para prajurit bingung. Apa kira-kira rencana pangeran? Keesokan paginya pangeran menyelinap ke dalam kamar para prajurit. 

Di punggungnya tersembunyi sehelai bulu ayam yang panjang. Serentak pangeran itu menggelitik semua kaki telanjang para prajurit. Segera saja mereka tertawa keras dan jatuh dari tempat tidur.

"Wah hebat anakku, kamu berhasil!"

Semua menunggu, tapi tak satu pun prajurit muncul. Mereka tidur nyenyak lagi. Tertawa keras membuat mereka semua kecapaian dan tertidur lagi.

Kini sang putri yang selama ini diam saja, hanya tersenyum sendiri. Ia mempunyai rencana yang sangat istimewa. Keesokan paginya, pagi-pagi sekali, sang putri berjingkat-jingkat ke dapur istana dan membisikkan sesuatu pada juru masak istana.

Dan, tidak lama kemudian..hmmm, bau apa ini? Baunya enak sekali, bau lezat ini merayap dari dapur, keluar dapur, dan masuk ke dalam kamar di mana para prajurit sedang tidur. Wah, bau sedap ini mengganggu semua hidung para prajurit, dan mereka mulai membuka mata, dan perut mulai terasa keroncongan. Satu sama lain mulai membangunkan dan mereka mengikuti asal bau tersebut.

Ternyata bau itu datangnya dari dapur. Pada saat para prajurit sudah ingin makan, sang putrid pun muncul, dan sang putri berkata, 

"Kalian tidak akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat kalau kalian tidak mandi dan keluar dengan pakaian seragam yang rapi.

Dan, tanpa dikomando mereka semua berebut mandi dan menyantap makanan lezat itu. Hal itu terjadi pada hari kedua, hari ketiga, dan begitu selanjutnya. Wah, sejak saat itu tidak ada satu pun lagi prajurit yang malas.



Dongeng ini karangan Ronne P Randall


MANUSIA SATU KATA

Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan, tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak panahnya. Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.

"Hei! Siapa kau?" tanya Raja. Orang itu tak menjawab. "Aku Raja Mahendra! Tolong naikkan aku!" pintanya dengan nada keras.

"Tidak!" jawab orang itu.

Raja menjadi geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya. Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali.

"Jadi kau mau menolongku?"

"Tidak!" jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali? Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih.

"Maukah kau kubawa ke kerajaan?" tawar Raja.

"Tidak!" jawab si penolong.

"Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas."

"Tidak!" jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.

Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata. Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan Raja Mahendra memanggil Patih.
"Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada manusia satu kata ini. Ia hanya bisa berkata, tidak."

"Mengapa paduka membawa orang yang amat bodoh ini?"

"Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang."

Patih berpikir keras. Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini. Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata,

"Paduka kan bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi sampai kini Paduka belum menemukan jenis sayembaranya."

"Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa hubungannya hal ini dengan sayembara?"
"Peserta yang telah lolos ujian kesaktian, harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara membujuk penjaganya."

"Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren?"

"Manusia satu kata itu, Paduka."

"Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan!"

"Percayalah pada hamba, Paduka."

Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil.
Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren. Peserta hanya boleh mengucapkan tiga pertanyaan.

"Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren?" tanya peserta pertama.

"Tidak!" jawab si manusia satu kata.

"Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?"

"Tidak!"

Pertanyaan tinggal satu.

"Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku boleh masuk."

"Tidak!" ujar si manusia satu kata.

Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai.

Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan berhasil,

"Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan adikku yang cantik. Setuju?" pertayaan pertama peserta kedua.

"Tidak!"
"Separoh kerajaan kuberikan padamu, setuju?"

"Tidak!"

"Katakan apa yang kau inginkan, asal aku boleh masuk."

"Tidak!"

Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai benar patihku, katanya dalam hati.

Peserta terakhir maju. Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.

"Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku masuk keputren?" tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan penonton terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan mantap pula penjaga menjawab.

"Tidak!" Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai. Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.

Rabu, Juni 10, 2009

Mahkota Pangeran Tresna

Di sebuah desa, hiduplah seorang gadis miskin bernama Jelita. Sejak kecil ia diasuh kakeknya yang buta. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Setiap hari Jelita merawat kebun sayurnya yang terletak di tepi sungai jernih. 

Suatu hari, selesai bekerja di kebun, Jelita pergi ke sungai mencuci pakaian. Tiba-tiba ia melihat sebuah kotak terbuat dari emas. Kotak itu tersangkut di antara ranting pohon yang tumbuh di tepi sungai. 

"Wah, betapa beruntungnya aku!" seru Jelita riang. Ia bermaksud menjual kotak emas itu.

Uangnya ingin ia pergunakannya untuk menyembuhkan mata kakeknya yang buta. Jelita bergegas pulang. Ia hendak memberitahu kabar gembira itu kepada kakeknya. Namun, tiba-tiba saja pikirannya berubah. 

"Astaga! Aku tidak boleh seenaknya menjual kotak emas ini. Aku harus mengembalikannya kepada si pemiliknya. Mungkin benda di dalam kotak ini sangat berarti bagi pemiliknya. Tetapi siapa, ya pemiliknya?" gumamnya. 

Jelita memandangi kotak emas yang terkunci rapat itu. Ia lalu memutuskan untuk meminta bantuan Ki Barep. Ki Barep adalah Kepala Dusun yang terkenal cerdik. Jelita kemudian bergegas menuju rumah Ki Barep di alun-alun desa. 

Hari sudah siang. Alun-alun sangat ramai. Di sana baru saja diadakan pesta menyambut kedatangan Pangeran Tresna. Pangeran datang ke desa itu untuk berburu rusa di hutan. Pangeran Tresna sangat gagah dan tampan. Tak heran jika banyak gadis bangsawan kaya yang datang ke alun-alun. Mereka ingin berkenalan dengan Pangeran Tresna.

Ketika baru saja tiba di depan pintu alun-alun desa, Jelita berpapasan dengan Raden Ayu Mangir. Ia putri bangsawan yang terkaya di kabupaten itu. Dahulu, almarhum ayah Jelita pernah bekerja pada keluarga kaya itu sebagai kusir kereta kuda. 

"Heh! Mau apa kau kesini?" hadang Mangir kasar. 

"Oh, selamat siang, Den Ayu Mangir," sapa Jelita hormat. 

Mangir membalasnya dengan sinis, "Heh! Tak tahu malu! Kau datang ke pesta ini untuk berkenalan dengan Pangeran Tresna, ya? Huh, mana mau ia berkenalan denganmu! Urusi saja kebun sayurmu!" 

Sesaat kemudian Mangir melihat kotak emas yang dibawa Jelita. Tiba-tiba timbullah niat jahat di hatinya. Ia ingin memiliki benda itu. 

"Aaah, dasar kau pencuri!" teriak Mangir sambil menuding Jelita. Pikir Mangir, semua orang pasti percaya jika ia mengakui kotak emas itu miliknya. Tak akan ada yang percaya pada Jelita yang miskin. "Sudah lama kotak itu hilang. Ternyata kau yang mengambilnya. Ayo cepat kembalikan padaku!" seru Mangir sangat keras, lalu merebut kotak itu dengan kasar. 

"Oh, maaf Den Ayu Mangir. Saya tidak mencuri kotak emas itu. Kalau memang benda itu kepunyaan Den Ayu, ambil saja," kata Jelita polos dan lugu. 

Namun, Mangir malah berteriak, "Pencuriii! Tolooong ada pencuri!" 

Orang-orang percaya begitu saja pada bualan Mangir. Jelita diseret bagaikan penjahat ke hadapan kepala dusun. 

"Sabar, kita tak boleh sembarangan menuduh orang. Nak, ceritakanlah! Darimana kau dapat kotak emas itu?" kata Ki Barep yang duduk di sebelah Pangeran Tresna. 

Jelita menjelaskan hal yang sesungguhnya serta maksud kedatangannya ke alun-alun desa itu. 

"Mangir, sekarang giliranmu menjawab pertanyaanku," kata Ki Barep yang cerdik. "Jika benar kotak itu kepunyaanmu, coba perlihatkan kunci kotak itu! Dan sebutkan apa isi kotak itu!" 

Mendengar pertanyaan itu, wajah Mangir mendadak pucat. Namun, ia kembali berbohong untuk meyakinkan Pangeran Tresna, Ki Barep, dan semua yang hadir di sekitar alun-alun itu. "Saat ini saya tidak memiliki kunci kotak itu. Sebab perempuan miskin ini telah mencuri kuncinya. Dan mengenai isinya… ah, saya sudah agak lupa. Lagipula, pasti telah berkurang karena dijual Jelita. Ngg… ada selusin cincin emas, gelang-gelang emas… " 

"Cukup! Cukup! Kau berbohong Mangir!" potong Pangeran Tresna. "Sebetulnya kotak emas itu milikku," ungkap Pangeran, lalu mengambil dari sakunya sebuah anak kunci yang juga terbuat dari emas. 

Semua yang hadir terperangah melihatnya. 

"Sebelum kotak emas itu dibuka, aku akan menjawab pertanyaan Ki Barep yang kedua. Isinya adalah sebuah mahkota emas bertakhta permata hijau." 

Pangeran kemudian memberikan kunci tersebut kepada Ki Barep. Dan dengan mudah Ki Barep berhasil membukanya. 

"Pangeran benar! Isinya memang mahkota kerajaan yang terbuat dari emas bertakhta permata hijau," kata Ki Barep. 

"Bagaimana ini bisa terjadi, Pangeran?" tanya Jelita tidak percaya. Dalam hati Jelita kasihan kepada Mangir. Ia tentu akan dihukum berat karena telah berbohong pada Pangeran. 

"Jelita, aku kagum pada kejujuranmu. Baiklah, begini ceritanya," kata Pangeran sambil terus menatap wajah Jelita. Rupanya Pangeran Tresna telah jatuh cinta pada gadis miskin itu. 

Permata di mahkota itu agak longgar. Pangeran ingin membawa mahkota itu ke ahli emas di desa itu. Ia membawanya sendiri karena sekalian akan berburu di hutan. Saat melewati tepi sungai yang jernih, Pangeran ingin membasuh mukanya. Ketika akan turun dari kuda yang ditungganginya, tiba-tiba seekor ular kobra besar melintas di dekat kaki kuda. Kuda itu ketakutan dan berlari ke sungai. Akibatnya, semua bekal makanan dan kotak emas yang ada di punggung kuda berjatuhan ke dalam sungai. Hanyut terbawa arus yang deras. Lalu, Jelita-lah yang menemukannya. 

Pangeran lalu menyuruh pengawalnya menangkap Mangir. Ia harus dihukum penjara sebab telah memfinah orang. 

Jelita yang baik hati lalu dipersunting Pangeran Tresna menjadi permaisurinya. Jelita tak lupa meminta Pangeran agar mengobati mata kakeknya yang buta. Mereka pun hidup bahagia sampai di akhir hayat.


Istana Bunga

Dahulu kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka berfoya-foya dan menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai putra dan putri yang baik hati. Sifat mereka sangat berbeda dengan kedua orangtua mereka itu. Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna selalu menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya suka menolong rakyatnya yang memerlukan bantuan. 

Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada ayah bundanya, "Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!" 

Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu. 

"Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!" usir Raja.

Pangeran Aji Lesmana tidak terkejut. Justru Puteri Rauna yang tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah bundamya, "Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun pergi!" 

Raja dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi mengikuti kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk mendapat ilmu. Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua orangtua mereka. 

Keduanya sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah sangat tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba mengetuk pintu. 

"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya, 

"Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan." 

Kakek sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar kebohongan Kusmantoro. Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi muridnya. 

Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada Kusmantoro dan Kusmantari. 

Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat mereka menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru bijaksana dan sakti itu. Suatu malam Panembahan memanggil mereka berdua. 

"Anakku, Kusmantoro dan Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini. Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu amalan." 

"Amalan apa itu, Panembahan?" tanya Kusmantari. 

"Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan gubug ini. Lalu berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua mereka." 

Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka. 

"Dua kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan buruk mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai kejujuran hati," pesan Panembahan Manraba. 
Ketika menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau mereka adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika tidak berterus terang, berarti mereka berbohong, tidak jujur. Padahal kuntum melati hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran. 

Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan. 

"Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada Panembahan selama ini." 
Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana." 
Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna berangkat menuju ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera memeluk kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu. 

Puteri Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu. Sifat mereka pun berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat bahagia. Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada Panembahan. Dan menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan


Kasut Bidadari

Kasut Bidadari adalah nama sejenis anggrek yang tumbuh di hutan. Kasut berarti sepatu. Anggrek Kasut Bidadari yang tumbuh di tanah ini sangat indah. Bunganya seperti disulam dengan benang emas. Tepiannya berwarna perak. Karena indahnya, ada dongeng tentang anggrek Kasur Bidadari ini. Beginilah ceritanya… 

Dahulu kala, di kerajaan kahyangan, ada tujuh puteri yang sangat jelita. Nama-nama mereka diambil dari nama bunga. Mawar, Dahlia, Cempaka, Tanjung, Kenanga, Cendana dan si bungsu Melati. Mereka masing-masing mempunyai kesukaan yang berbeda. Yang paling menonjol dari antara mereka adalah si bungsu Melati. 

Melati sangat suka bemain-main di hutan Rimba Hijau. Hutan itu sering dikunjungi manusia. Ayah mereka berulang kali melarang Melati bermain di hutan itu. Sang ayah takut jika puterinya itu bertemu dengan manusia. 

Di rimba itu terdapat sungai dengan air terjun yang indah. Di saat cuaca cerah, gemercik airnya membias memantulkan sinar matahari. Sehingga terbentuklah warna-warna indah seperti pelangi. 

Suatu hari Melati mengajak semua kakaknya ke Rimba Hijau. Mereka turun ke bumi dengan meneliti pelangi. Mereka mengenakan pakaian dan sepatu yang indah. Setibanya di bumi, mereka asyik bermain di air terjun. 

Sedang asyiknya mereka bermain, lewatlah seorang pemburu. Ia sangat terkejut melihat ketujuh bidadari itu. 

"Hei, siapa kalian? Aku belum pernah melihat kalian!" seru pemburu itu. 

Ketujuh puteri itu sangat terkejut. Mereka langsung terbang melayang ke angkasa. Saking terburu-buru, sebelah sepatu Melati jatuh ke bumi. Melati bermaksud mengambilnya. Namun kakak-kakaknya melarangnya. Ketujuh bidadari itu lalu kembali meniti pelangi. Perlahan-lahan pelangi itu pun mulai menghilang. 

Pemburu tadi terpana menyaksikan kepergian ketujuh bidadari itu. Ia lalu memungut sebelah sepatu Melati yang tadi terjatuh. Namun, sepatu itu tiba-tiba terjatuh lagi dari tangannya. Pada saat itulah terjadi kejadian aneh. Sepatu tadi perlahan-lahan berubah menjadi bunga yang indah. Setiap helai kelopaknya seperti tersulam dari benang emas dan perak. 

"Aneh… kasut tadi mengapa bisa menjadi bunga? Tentu ketujuh gadis tadi adalah bidadari…" gumam pemburu itu. "Karena berasal dari kasut, kunamakan saja bunga ini Kasut Bidadari," gumamnya lagi. 

Demikianlah… Akhirnya sampai kini bunga itu dinamakan Kasut Bidadari. 

Ketika Pangeran Mencari Isteri

Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperitah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry yang telah tua itu ingin segera turun takhta. Raja Henry memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. Putra mahkota itu baik hati, bertanggung jawab, serta bijaksana. Ia juga dekat dengan rakyat. Itu sebabnya ia sangat cocok untuk memerintah kerajaan itu. Tetapi sayangnya ia belum beristeri. Padahal salah satu syarat untuk menjadi raja di kerajaan itu, pangeran harus memiliki isteri. 

Kesibukan di istana pun dimulai. Seluruh anggota kerajaan sibuk mencarikan wanita yang cocok untuk Pangeran. Tapi, tak satu pun wanita yang dapat membuat Pangeran Arthur jatuh cinta. Selalu saja ada kekurangannya di mata Pangeran Arthur. 

Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang melamun di taman istana. 

"Selamat pagi Pangeran Arthur!" sapa sang pengembara. 

"Selamat pagi. Siapakah kau?" tanya Pangeran Arthur. 

"Aku pengembara biasa. Namaku Theo. Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon isteri?" tanya Theo. 

"Ya, aku bingung sekali. Semua wanita yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!" keluh Pangeran dengan wajah bingung. 

"Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan jalan keluar," ajak Theo sambil memandang wajah Pangeran yang tampak letih. 

"Ooh, baiklah," jawab Pangeran sambil melangkah. Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana. 
Theo mengajak Pangeran ke daerah pantai. Disana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan. Tak lama kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya. 

"Isteriku sedang memasak ikan bakar yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya," ujar si nelayan. 
Setibanya di rumah nelayan, terciumlah aroma ikan bakar yang sangat lezat. Mereka duduk di teras rumah nelayan itu. Tak lama kemudian keluarlah istri nelayan menghidangkan ikan bakar. Istri nelayan itu bertubuh pendek. Ketika sang istri masuk ke dalam, Theo bertanya, "Wahai Nelayan! Mengapa engkau memilih istri yang bertubuh pendek?" 

Nelayan itu tersenyum lalu menjawab, "Aku mencintainya. Lagipula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun pandai memasak." 

Theo dan Pangeran Arthur mengangguk-angguk mengerti. Selesai makan, mereka berterima kasih dan melanjutkan perjalanan. 

Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Rumah Pak Tani sangat bersih. Tak ada sedikit pun debu. Mereka beberapa saat bercakap dengan Pak Tani. Lalu keluarlah isteri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kue-kue kecil. Bu Tani bertubuh sangat gemuk. Pipinya tembam dan dagunya berlipat-lipat. Setelah Bu Tani pergi ke sawah, Theo pun bertanya, "Pak Tani yang baik hati. Mengapa kau memilih isteri yang gemuk?" 

Pak Tani tersenyum dan menjawab dengan suara bangga, "Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat mencintainya." 
Pangeran dan Theo mengangguk-angguk mengerti. Mereka lalu pamit, dan berjalan pulang ke Istana. Setibanya di Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan isterinya. Pelayan itu amat pendiam, sedangkan isterinya cerewet sekali. Theo kembali bertanya, 

"Pelayan, mengapa kau mau beristerikan wanita secerewet dia?" 

Pelayan menjawab sambil merangkul isterinya, "Walau cerewet, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat mencintainya". 
Theo dan Pangeran mengangguk-angguk mengerti. Lalu berjalan dan duduk di tepi kolam istana. Pangeran berkata pada Theo, 

"Kini aku mengerti. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan calon isteriku. Yang penting, aku mencintainya dan hatinya baik." 

Theo menarik nafas lega. Ia lalu membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. Kini di hadapan Pangeran ada seorang puteri yang cantik jelita. Puteri itu berkata, 

"Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu." 

Pangeran sangat terkejut tetapi kemudian berkata, 

"Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi isteriku". Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.


Kelinci Putih

Silvia adalah seorang putri ningrat. Dia tinggal dalam rumah megah berkebun luas. Dia kaya sekali. Pelayannya banyak dan dia tak perlu bekerja apa- apa, kecuali bersenang- senang. Ia suka mengundang tamu- tamu. Tamu- tamunya juga kaum bangsawan. 

Silvia tak pernah pergi ke luar batas kebunnya. Semua kebutuhannya sudah tercukupi. Lagi pula... di luar batas dinding kebun belakang, terhampar hutan lebat yang seram. Tak ada penduduk desa yang berani melintasi hutan itu sendirian. Mereka selalu berbondong- bondong atau minta bantuan pengawal. 

Namun, pada suatu hari yang cerah, hutan itu kelihatannya tak begitu menyeramkan. Silvia berjalan- jalan di kebun belakang. 

Lalu menerobos pintu yang ada di sana, selangkah lagi... sampailah ia ke tepi hutan. Belum jauh dia berjalan, tiba- tiba ada seekor kelinci putih melompat ke dalam pelukannya. Bulunya halus dan matanya berkedip jenaka. Silvia langsung suka padanya. Digendongnya kelinci itu pulang ke rumah. 

Gegabah benar dia. Kelinci itu sesungguhnya adalah piaraan peri hutan. Peri hutan biasanya berwatak jahat. Dan ketika dia melihat silvia menggendong kelinci itu, dia marah sekali. 

Melesat cepat bagai kilat, peri hutan segera menghadang silvia. 

“kamu gadis busuk! Kamu mencuri kelinciku!” jerit parau si peri hutan. 

Silvia langsung mengulurkan kelinci putih itu. 

“maaf,” kata silvia, “aku tak tahu kelinci ini ada yang punya.” 

“tidak! Kau telah memegang kelinciku,” pekik peri hutan.dia memang suka marah- marah.

" sekarang kau harus memeliharanya. Baik- baik! Ingat, dia hanya mau makan daun semanggi. Lain tidak! Kalau sampai kelinci itu mati- aku akan merampas seluruh harta kekayaanmu.” 

Peri itupun menghilang. Silvia bergegas pulang ke rumah sambil menggendong kelinci putih. Andai saja tadi dia tidak melihatnya... Sulit juga mencari daun semanggi. Silvia terpaksa mengerahkan semua pelayannya untuk mencari daun semanggi. Sepanjang hari, selama beberapa minggu mereka berhasil memberi makan kelinci itu. Makan yang cukup. Tapi akhirnya habislah daun semanggi yang bisa di petik. 

Kelinci putih itu jadi kurus dan sakit- sakitan. Terpaksa silvia membuat sayembara. Jika ada anak muda yang bisa menemukan atau mengumpulkan daun semanggi segar untuk kelinci itu, silvia bersedia menjadi istrinya. 

Tentu saja anak- anak muda di seluruh dusun kasak- kusuk mencari –cari daun semanggi. Tak ada yang berhasil. Hanya satu yang beruntung, martin namanya. 

Martin menemukan seekor rusa yang pincang- luka kakinya. Martin yang baik itu menolongnya. Pada saat itu kebetulan peri hutan lewat. Dan dia sedang enak hati. 

“kamu anak muda yang baik hati,” katanya pada martin. 

“mari kutunjukkan di mana ada semak daun semanggi yang lebat,” lanjutnya. 

Lalu, setiap hari martin membawakan kelinci putih itu daun- daun semanggi yang segar. Silvia kemudian menikah dengan martin dan mereka hidup bahagia. 


Hadiah Buat Sang Putri

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang putri. Ayahnya adalah seorang raja yang terkenal, dan sangat mencintai putrinya tersebut. Karena rasa sayangnya itu, segala keinginan anaknya itu pasti akan dituruti. Jika sang putri minta apa saja, maka ayahnya segera memberikannya secara berlebih.

Pada suatu hari, sang putri meminta sutra pada ayahnya. Mendengar permintaan putrinya itu, sang ayah segera mengumpulkan seluruh pedagang sutra terbaik yang ada di kerajaan itu, lalu satu persatu mereka meletakkan sutra mereka di hadapannya, agar sang putri dengan mudah bisa memilih.

Pada saat musim dingin tiba, sang putri meminta perapian untuk menghangatkan tubuh. Langsung saja sang ayah mengumpulkan seluruh tukang kayu yang ada di kerajaan untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian meraka menyalakan api, sehingga badan sang putri menjadi hangat.

Ketika sang putri menginginkan bintang, maka ayahnya mengumpulkan pengrajin batu mulia. Mereka membentuk batu permata menjadi bintang-bintang yang sangat indah dan berkilauan.

Pada suatu hari, sang putri berjalan-jalan di taman istana. Tiba-tiba ia melihat anak tukang kebun yang miskin sedang menyiram bunga-bunga di taman. 

Sang putri melihat ke arah anak tukang kebun, seraya berkata, “Hei.., apakah kamu mempunyai sutra seperti yang saya pakai ini?”, “Apakah kamu punya perapian seperti yang ada di rumahku?”, tanya sang putri lagi, “Dan apakah kamu punya bintang yang indah seperti ini?! Kamu pasti tidak punya. Mana bisa kamu mendapatkan itu semua. Kamu kan hanya anak seorang tukang kebun miskin. Kamu tidak punya ayah seorang raja atau saudara pangeran”. Lanjut sang putri dengan sombong.

Anak tukang kebun itu hanya diam dan tertawa mendengar ocehan sang putri dan tidak membalasnya. Dan semenjak itu, sang putri sering pergi ke taman setiap hari untuk memamerkan yang ia punya pada anak tukang kebun, dan ia akan selalu mengatakan, “Apakah kamu mempunyai sutra seperti yang saya pakai ini?”.

“Apakah kamu punya perapian seperti yang ada di rumahku?”. “Dan apakah kamu punya bintang yang indah seperti ini?”. “Kamu pasti tidak punya. Mana bisa kamu mendapatkan itu semua. Kamu kan hanya anak seorang tukang kebun miskin. Kamu tidak punya ayah seorang raja atau saudara pangeran”.

Dan, anak tukang kebun itu lagi-lagi hanya diam dan tersenyum. Ia tidak membalasnya. Akan tetapi, pada suatu saat, ia menanggapi sikap sang putri dengan tertawa sambil berkata, “Memang... aku tidak punya ayah seorang raja dan tidak punya saudara pangeran... Aku hanya seorang anak tukang kebun yang miskin. Aku tidak punya sutra seperti yang kamu pakai. Aku tidak punya perapian seperti yang ada di kamarmu, dan aku juga tidak punya bintang dari permata seperti punyamu. Tapi aku punya sutra yang halus sekali, aku punya api merah yang tidak menyengat, dan aku punya bintang yang berkilauan, semuanya berkumpul jadi satu dan dapat berjalan bersama-sama di atas tanah. Ia jauh lebih indah dari semua yang kamu punya”, timpal anak itu tidak mau kalah.

Sang putri kaget dan heran mendengar ucapan anak tukang kebun itu, dan berkata pada dirinya sendiri, “Apa benar yang dikatakan anak tukang kebun itu? Ia punya sutra yang halus, api merah yang tidak menyengat, dan bintang yang berkilauan, semua itu menjadi satu dan dapat berjalan bersama-sama di tanah?” Gumam sang putri. “Sementara aku punya sutra, api dan bintang yang tidak menjadi satu dan tidak bisa berjalan di tanah, dan api yang ada dirumahku panasnya menyengat dan bisa membakar siapa saja yang ada di dekatnya,” pikir sang putri sambil merenung.

Sejak sang putri mendengar kata-kata anak tukang kebun itu, ia selalu memikirkannya, dan berangan-angan seandainya punya seperti apa yang dimiliki oleh anak tukang kebun tersebut.

Hari ulang tahun semakin dekat, dan sebentar lagi tiba. Sang putri mengadu pada ayahnya, “Ayah... nanti kalau aku ulang tahun, aku mau hadiah sutra yang halus, api yang panasnya tidak menyengat, dan bintang yang berkilauan, semua itu jadi satu dan dapat berjalan di tanah,” pinta sang putri.

Sang raja terheran mendengar rengekan putrinya dan memerintahkan menterinya untuk mencarinya. Sang menteri juga heran dan bingung mendengar perkataan raja, lalu ia minta pendapat pada seorang penasehat yang bijak. Mendengar perkataan sang menteri sang penasehat bijak juga heran, ia berfikir keras mencari jawaban permintaan rajanya.

Setelah lama berfikir, ia berkata kepada sang menteri, “Itu adalah perkara yang mustahil. Tidak mungkin ada. Mana ada api yang panasnya tidak menyengat? Dan sangat tidak mungkin ada sutra, api dan bintang yang berkumpul jadi satu. Karena api akan membakar sutra, dan bintang akan membakar keduanya. Lalu bagaimana mungkin semua itu berjalan bersama di tanah?” Kata sang penasehat heran.

Sang menteri menyampaikan apa yang dikatakan oleh penasehat, dan menyesal karena tidak dapat memenuhi permintaan sang putri. 

Ketika sang putri mengetahui bahwa permintaannya tidak terpenuhi, ia jatuh sakit dan terbaring di atas tempat tidurnya. Ia tidak dapat bergerak dengan lincah sebagaimana yang biasa ia lakukan ketika sehat. Sang raja khawatir dan panik melihat keadaan putrinya itu. Lalu ia meminta tabib istana untuk mengobati putrinya.

“Paduka raja patut khawatir terhadap keadaan sang putri, karena sakitnya tidak akan terobati kecuali dengan memenuhi permintaannya,” saran tabib istana.

Sang raja bingung menghadapi persoalan itu, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memenuhi permintaan putrinya agar sembuh dari sakitnya.

Akhirnya sang raja membuat sayembara di seluruh pelosok kerajaan dan negeri. Yang isinya, siapa yang dapat memenuhi permintaan sang putri maka akan diberikan hadiah emas yang banyak dan akan dijadikan pangeran.

Semua orang di kerajaan itu mulai mencari apa yang diminta oleh sang putri. Sementara pasukan kerajaan berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain di seluruh negeri dengan tujuan yang sama. Akan tetapi mereka tidak menemukan apa yang diinginkan oleh sang putri.

Pada suatu malam, anak tukang kebun yang miskin tadi datang ke istana, kemudian ia menyampaikan pada penjaga istana bahwa ia mempunyai hadiah buat sang putri.

Maka dengan seketika penjaga tersebut mengantarkannya untuk bertemu dengan sang putri. Anak tukang kebun itu tersenyum ketika melihat sang putri, seraya berkata, “Ambillah hadiah ini wahai sang putri...”. Selanjutnya ia mengeluarkan seekor kucing kecil mungil dan cantik dari dalam sakunya. Dan berkata, “Kucing ini bulunya halus seperti sutra, lidahnya merah seperti api tapi tidak menyengat, dan matanya berkilau seperti bintang. Semuanya berkumpul jadi satu dan berjalan bersama-sama di atas tanah.” 

Sang putri tertawa. Ia langsung mengambil kucing itu, mengelus bulunya yang halus seperti sutra. Ia melihat lidahnya yang merah seperti api, dan ia memandangi matanya yang indah dan bersinar seperti kilauan bintang di langit.

Sang putri mendekap dan memeluk kucingnya yang manis. Sang raja sangat senang melihat putrinya telah sembuh. Akhirnya sang raja memberikan imbalan yang besar kepada anak tukang kebun dan ia diangkat sebagai pengeran.

GEMBALA SANG RAJA

Raja Yosia memiliki 100 ekor domba pilihan. Bulunya putih bagaikan salju, muda, sehat, dan bersih. Pada waktu-waktu tertentu, 100 ekor domba itu dipersembahkan sebagai kurban untuk Tuhan. Kemudian sang gembala, Pak Kaleb, menyiapkan lagi 100 ekor domba pilihan. Ia memberi mereka makan rumput yang hijau segar. Dan membawa mereka minum ke air danau yang tenang. Juga menjaganya bila ada serigala menyerang. Namun, sekarang Pak Kaleb sudah tua. Ia harus diganti dengan seorang gembala muda yang tangkas dan kuat. 

"Pak Kaleb, kau pilihlah dulu tiga gembala muda calon penggantimu. Berikutnya aku yang akan menguji, untuk menentukan siapa yang pantas menggantikanmu!" titah Raja. 

Pak Kaleb segera melaksanakan perintah raja. Ternyata cukup banyak peminat. Rakyat negeri itu tahu, bekerja bagi Raja adalah kesempatan istimewa. Gajinya besar dan merupakan suatu kehormatan. Pak Kaleb menguji pengetahuan para calon penggantinya. Ia bertanya tentang cara menyisir bulu domba, ciri-ciri domba sakit, cara mengobati domba sakit, cara melawan serigala, kemahiran menggunakan tongkat gembala dan sebagainya. 

Akhirnya didapat tiga calon; Yunus, Obaja, dan Daud. Ketiganya masih muda, kuat, gagah, dan pandai. Kaleb segera menghadap Raja untuk melapor. 


"Bagus, Pak Kaleb. Besok suruh mereka menghadap aku di halaman belakang istana. Dan tolong sembunyikan seekor domba dari yang 100 ekor itu. 

Tukar dengan kambing hitam!" kata Raja. 

"Baik, Baginda. Segera hamba laksanakan!" kata Kaleb. Namun dalam hatinya ia heran. Mengapa seekor domba harus ditukar dengan kambing hitam? 

Esok harinya Baginda pergi ke halaman belakang istana. Tiga gembala muda sudah menunggu dengan tongkat masing-masing. Domba-domba berkeliaran di rumput, ada yang duduk tenang, ada yang berjalan-jalan dan ada pula yang berlaga dengan kawannya. 

"Anak-anak muda, itulah 100 ekor domba pilihan yang akan dipercayakan pada salah seorang di antaramu. Coba perhatikan dan kemudian beri komentar kalian!" kata Raja. 

Ketiga calon gembala istana itu segera mendekati domba-domba. Setengah jam kemudian mereka kembali menghadap Raja. 

"Bagaimana komentar kalian?" tanya Raja. 

"Domba-domba itu memang domba pilihan. Tak ada cacat cela. Sungguh suatu kehormatan bila hamba dipercaya menggembalakan mereka!" kata Yunus. 

"Hamba pun berpendapat demikian. Merawat domba-domba untuk dipersembakan pada Tuhan sungguh merupakan anugerah!" kata Obaja. 

"Dan apa komentarmu?" tanya Raja pada Daud. 

"Jumlah domba hanya 99 ekor. Yang seekor kambing hitam, bukan domba. Dimanakah yang seekor lagi? Menurut Pak Kaleb, kami harus merawat 100 ekor domba pilihan!" kata Daud. 

Raja mengangguk-angguk. "Ya, ya. Kalau begitu, biar Pak Kaleb mencari yang seekor lagi. Besok kalian datanglah lagi untuk diuji!" kata Raja. 

Sesudah tiga calon gembala pergi, Raja berkata pada Pak Kaleb, "Tukarlah kambing hitam itu dengan domba yang luka!" 

"Baik, Baginda!" jawab Pak Kaleb dengan hormat. 

Keesokan harinya ketiga gembala muda itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa 100 domba-domba itu dan memberikan komentarnya. 

"Bagaimana sekarang? Jumlahnya 100 ekor?" tanya Raja. 

"Ya, Tuanku. Jumlahnya 100 ekor domba pilihan. Kemarin hamba tidak menghitungnya!" kata Yunus. 

"Benar, Baginda, hari ini dombanya lengkap 100 ekor!" jawab Obaja. 

"Maaf, Baginda. Tadi saat hamba sisir bulu domba-domba itu, ternyata ada seekor yang terluka. Lihatlah! Ini perlu diobati!" ujar Daud sambil membawa seekor domba dan menunjukan bagian yang terluka. 

"Baiklah, Pak Kaleb akan obati. Besok ujian terakhir. Jadi, datanglah sekali lagi!" kata Raja. Kemudian Raja menyuruh Pak Kaleb menukar domba yang luka dengan domba yang sehat sempurna. 

Esok harinya, ketiga gembala itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa domba-domba itu dan kemudian menghadap. Kali ini Yunus dan Obaja memeriksa domba-domba itu dengan teliti. 

Ketika menghadap, Yunus berkata, "Hamba lihat ada 100 ekor domba sehat, Baginda!" 


"Benar! 100 ekor domba pilihan yang sehat!" kata Obaja. 

"Jumlah domba memang 100 ekor, tapi hamba tidak lihat domba yang terluka kemarin. Dimanakah dia? Apakah lukanya sudah membaik?" tanya Daud. 

Raja tersenyum senang dan mengangguk-angguk. 

"Kalian bertiga gembala-gembala muda yang tangkas. Namun, aku harus memilih satu. Dan pilihanku jatuh pada Daud. Ia pantas menjadi gembala istana. Ia teliti menghitung domba-domba yang akan dipercayakan padanya. Ia memeriksa kesehatan domba dengan teliti. Dan mengenal domba-domba itu dengan baik. Ia tahu bahwa domba yang terluka itu tak ada, walau jumlah seluruh domba tetap 100 ekor!" kata Raja. 

Maka Daud pun diangkat menjadi gembala sang Raja

Gadis dan Pohon Bernyanyi

Di sebuah kota pelabuhan yang ramai tinggallah seorang anak perempuan yatim piatu. Gadis namanya. Ayah dan ibunya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak itu Gadis tinggal bersama bibinya. Namum bibinya sangat kasar kepadanya. Gadis amat sedih. Akan tetapi ia mencoba tabah dan sabar. 

Gadis adalah anak yang rajin. Ia berusaha mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Salah satunya adalah mengambil air dari sumur. Letak sumur itu sangat jauh dari rumah. Untunglah di tengah jalan ada sebatang pohon tua yang besar dan rimbun. Gadis sering singgah di bawah pohon itu untuk melepas lelah. 

Kadang-kadang, Gadis menangis sedih di bawah pohon itu. Ia merasa sendirian di dunia ini. Ia tak tahu harus mengadu kepada siapa. Diantara isak tangisnya, Gadis senantiasa berdoa agar Tuhan menjaga dan menolongnya. Anehnya, setiap kali ia menangis, pohon itu selalu mengembangkan ranting-rantingnya. Daun-daunnya bergerak dengan lembut dan berirama.

Desiran halusnya bagaikan nyanyian merdu. Gadis selalu terpesona mendengarnya. Sehingga ia lupa akan kesedihannya. Bahkan sampai tertidur. Bila ia tertidur pohon itu menundukkan ranting-ranting daunnya. Supaya Gadis terlindung dari panas matahari. Jika Gadis terlalu lama tertidur, pohon itu akan menjatuhkan daun-daunnya ke pipinya yang halus. Gadis jadi terbangun karenannya. 

Hari demi hari pun berlalu.. Raja akan membuat sebuah kapal pesiar. Pohon-pohon tua yang ada akan ditebang. Kayunya digunakan untuk membuat kapal. Gadis menjadi gelisah, ia cemas kalau pohon tuanya akan turut ditebang. 

Siang itu, sepulang mengambil air dari sumur, Gadis singgah sejenak di bawah pohon tuanya. Ia melihat tanda silang putih pada batang pohon itu. Berarti pohon kesayangannya akan ditebang. Hati Gadis sedih sekali. Ia tidak bisa berkata-kata. Air matanya mengalir deras. Tanggannya memeluk pohon yang dikasihinya.

"Pohonku, mungkin hari ini adalah hari terakhir perjumpaan kita. Esok mereka akan menebangmu. Aku akan kehilangan satu-satunya teman yang kumiliki. Aku sedih sekali. Tapi aku tak dapat mencegahnya. Selamat jalan pohonku," isak Gadis. 

Seperti hari-hari yang lalu pohon itu kembali menundukkan ranting-rantingnya dan daun-daunnya. Seolah-olah memeluk Gadis. Daunnya mengusap lembut pipi Gadis. Tak terdengar nyanyian dari pohon itu. 

"Jangan sedih, anak manis. Kapal itu tak akan berlayar tanpa kehendakmu. Naiklah dan ikutlah berlayar bersamanya kelak. Maka kita akan bersama-sama lagi," bisik pohon itu menghibur hati Gadis.

Esok pagi pohon itu ditebang. Beberapa bulan kemudian selesailah kapal yang diinginkan Raja. Sebuah pesta meriah diadakan saat kapal itu akan berlayar untuk pertama kalinya. Namun ketika akan diluncurkan, kapal itu sedikitpun tak mau bergerak meninggalkan dermaga. Penduduk mencoba mendorongnya. Namun kapal itu tetap tak bergerak. Raja menjadi kecewa dan marah.

Berita mengenai kapal yang tak mau bergerak itu akhirnya terdengar oleh Gadis. Ia teringat pada pesan terakhir pohon tuanya. Dengan susah payah Gadis pergi ke pelabuhan kota. Dan berhasil menemui Raja. Ia minta izin agar boleh melayarkan kapal tersebut. Raja semula tak percaya. Tapi karena kapal itu tak mau bergerak, akhirnya Raja mengizinkan. Gadis pun bergegas naik ke atas kapal. Penuh rindu diusapnya anjungan kapal itu.

"Pohonku, tolonglah aku. Bergeraklah, berlayarlah .. Seluruh penduduk kota ini ingin menyaksikan engkau berlayar ke lautan lepas."

Semua orang berdebar menanti apa yang akan terjadi. Kapal itu bergerak sedikit demi sedikit. Lalu lepaslah ia dari sandarannya. Dengan tenang ia melaju ke laut. Penduduk kota bersorak gembira. Raja tak kurang pula gembira hatinya. Gadis dipeluknya.

"Bagaimana engaku bisa membuat kapal ini berlayar?" tanya Raja dengan takjub bercampur heran.

"Berkat rahmat Tuhan, Yang Mulia. Kebetulan kapal ini terbuat dari kayu pohon tua sahabat saya, " jawab Gadis dengan santun.

Kemudian Gadis menceritakan seluruh kisah hidupnya kepada Raja. Hati Raja tersentuh. Sejak itu Gadis tinggal di istana dan menjadi anak angkat Raja.


Chimera

Zaman dahulu, ketika masih banyak hutan-hutan, hidup makhluk aneh yang mengerikan. Namanya Chimera.

Orang-orang yang berakal sehat tidak mau menembus hutan. Mereka lebih suka menyeberangi lembah-lembah terbuka yang penuh sinar matahari.

Tapi ada juga yang berani mencoba-coba. Adipati Baristone, misalnya. Dia bermaksud merambat hutan untuk dijadikan padang pengembala ternakanya.

Karena merasa terganggu, Chimera keluar dari sarangnya, Makhluk itu memeng mengerikan. Kepalanya seperti kepala singa, berbadan kuda dan berekor ular. Mulutnya menyemburkan api seperti naga.

Adipati Baristone pun sungguh nya ingin tahu, seperti apa sebenarnya wujud makhluk chimera itu.

Sang Adipati sedang sedih. Tanpa sengaja dia membunuh adiknya waktubersama-sama berburu dahulu. Klau dia berhasil menumpas chimera, barulah dosanya terampuni begitulah pikiranya.

“Akan ku bunuh Chimera, supaya orang-orang bisa hidup tenang,kalau tidak lebih baik akau mati saja,”Sumpahnya.

Ayah adipati Baristone tidak tega. Dia dikaruniakanya kuda sembarani putih untuk membantu putranya. Ketika mendekati makhluk itu, kuda sembarani menuki dan Baristone melontarkan tombaknya. Tepat kena jantung binatang yang mengerikan itu.

Chimera telah mati. Rakyat merasa gembira.


Burung Kaha

Dahulu kala, hiduplah seorang nelayan yang sudah tua. Pagi-pagi sekali biasanya ia sudah pergi ke sungai untuk memancing. Ia akan berada di sungai seharian penuh. Jika hari sudah petang, barulah ia akan menghitung hasil pancingannya. Biasanya, tidak lebih dari dua ekor yang ia dapat. Kemudian ia akan menjual ikan itu ke pasar dan membeli sedikit makanan untuk dirinya dan juga istrinya. 

Suatu pagi, ketika ia sedang memancing munculah seekor burung yang sangat indah berwarna keperakkan. Burung itu bukan sembarang burung, ia adalah burung Kaha, yang sering menolong orang-orang miskin. Burung Kaha memperhatikan si nelayan menunggu dan menunggu sampai akhirnya ia berhasil menangkap seekor ikan.

Lalu ia bertanya pada nelayan tua itu "Apa yang akan kamu perbuat dengan ikan ini kek?" 

"Aku akan menjualnya ke pasar, jadi aku bisa membeli sedikit roti untuk diriku dan istriku."

Burung Kaha merasa kasihan kepada si nelayan tua. 

"Selama hidup, kakek sudah cukup menderita, karena itu aku akan membawakan untuk kakek seekor ikan yang besar setiap hari. Kakek bisa mendapatkan uang yang banyak dari situ."

Saat malam hari tiba, burung Kaha terbang membawa seekor ikan yang besar dan menjatuhkannya di depan rumah nelayan tua. Keesokan paginya, nelayan tua memotong-motong ikan itu, menggorengnya, lalu menjualnya ke pasar. Begitulah yang terjadi setiap hari. Sedikit demi sedikit nelayan tua itu menjadi kaya.

Bahkan ia dapat membeli sebuah rumah dengan taman di sekelilingnya.

Suatu hari di pasar, nelayan tua mendengar utusan kerajaan mengumumkan, barang siapa yang bisa memberitahu di mana burung Kaha, ia akan diberi imbalan setengah dari kerajaan dan lima puluh kantong emas. Si nelayan tua amat tergiur dengan tawaran itu.

"Adduuh burung itu kan sudah menyelamatkan aku dari kemiskinan. Mana mungkin aku mengkhianatinya? Tapi pasti menyenangkan jika dapat memiliki separuh dari kerajaan!"

Utusan kerajaan melihat nelayan tua yang sedang resah. Ia yakin nelayan itu tahu sesuatu. Langsung saja ia membawa si nelayan menghadap raja.

Di kerajaan, raja meminta tolong pada si nelayan tua. Ia sangat membutuhkan darah burung Kaha untuk mengobati matanya yang mulai buta. Nelayan tua yang berubah jadi serakah menjawab.

"Raja yang terhormat, burung Kaha selalu datang ke rumahku tiap malam. Tapi, karena ia kuat dan besar maka aku tidak akan mampu menangkapnya sendirian. Aku butuh bantuan paling tidak seratus orang."
Raja mengabulkan permintaan nelayan tua. Malam harinya, seratus orang pelayan raja bersembunyi di sekitar rumah si nelayan tua menanti kehadiran burung Kaha . Tidak lama kemudian, datanglah burung Kaha. Nelayan tua berpura-pura mengundangnya makan malam. Ketika burung Kaha mulai menikmati makanan, nelayan tua segera berteriak.

"Aku menangkapnya! Cepat keluar! Cepat!"

Seketika, pelayan-pelayan itu berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya dan berusaha menangkap burung Kaha. Tetapi dengan sigap burung Kaha segera mengembangkan sayapnya dan terbang. Nelayan tua berhasil memegang kaki burung Kaha dan ikut bergelantungan di udara. Seorang pelayan lalu melompat dan berhasil memegang kaki si nelayan. Pelayan kedua segera memegang kaki pelayan pertama. Begitu seterusnya hingga mereka semua ikut bergelantungan. 

Burung Kaha terbang semakin tinggi melewati awan-awan. Lalu si nelayan tua melihat ke bawah. Ia sudah tidak bisa melihat bumi lagi! Tiba-tiba tangannya sudah tidak kuat menahan, dan jari-jarinya lepas dari kaki burung Kaha. Seketika itu, jatuhlah dia bersama seluruh pelayan-pelayan itu ke bumi dan akhirnya meninggal.

Burung Kaha kembali ke kerajaan asalnya di langit dan tidak ada manusia yang pernah melihatnya lagi.




Bunga Tebing

Jaman dahulu, di bumi ini tidak ada tebing. Semua daratan berbentuk padang rumput yang sangat luas. Suatu hari, Dewa Padang Rumput sedang berjalan-jalan di padang rumput yang luas. Tetapi tidak ada satupun bunga disitu. Hanya ada rumput, rumput dan rumput.

Bertanyalah Dewa Padang Rumput pada si Padang Rumput,"Mengapa hanya ada rumput disini? Kemanakah semua bunga-bungamu?"

Padang Rumput menjawab, "Dewa-ku, aku tidak memiliki benihnya."

Maka, Dewa Padang Rumput memanggil semua burung dan memberikan perintah,

"Wahai, semua burung-burung di angkasa. Aku perintahkan kalian membawa semua benih dari berbagai jenis bunga-bungaan. Ambillah benih itu dari berbagai penjuru tempat dan taburkan di Padang Rumput."

Keesokan harinya, tibalah beribu-ribu burung di Padang Rumput. Semua burung itu membawa beraneka benih bunga, lalu menaburkannya di Padang Rumput. Sesuai dengan perintah Dewa Padang Rumput.

Tak lama kemudian, Padang Rumput telah dipenuhi dengan beraneka jenis bunga yang indah. Ada mawar, lili, anggrek, bunga desi, melati, lavender, dan masih banyak bunga lainnya. Bunga-bunga indah ini menghiasi Padang Rumput sepanjang musim semi.

Dewa Padang Rumput datang mengunjungi Padang Rumput dan sangat terkesan. Tetapi ia tidak melihat bunga favoritnya. Ia lalu berkata kepada Padang Rumput,"Dimanakah bunga krisan, kesukaanku? Mengapa kau tidak memiliki bunga ini?"

Sekali lagi, Padang Rumput menjawab, "Dewa-ku, aku tidak memiliki benih bunga krisan..

Sekali lagi, Dewa Padang Rumput memanggil semua burung,"Wahai, semua burung di angkasa. Kuperintahkan kalian mengambil semua benih bunga yang ada di bumi dan taburkan benih itu di Padang Rumput."

Tetapi, ketika Dewa Padang Rumput kembali mengunjungi Padang Rumput, ia masih belum menemukan bunga kesukaannya.

"Mengapa masih belum ada bunga kesukaanku? Bunga krisan yang indah.."

Kali ini Padang Rumput menjawab dengan sedih, 

"Dewa-ku, aku tidak bisa memelihara bunga itu. Angin selalu datang dan menyapunya dari tanahku. Selain itu, matahari selalu menyinari aku dengan teriknya. Benih-benih itu jadi kering dan terbang terbawa angin."

Maka Dewa Padang Rumput segera berbicara dengan Petir dan dengan kekuatannya yang hebat, Petir segera menyerang Padang Rumput, menyisakan luka hitam terbakar. Berhari-hari Padang Rumput mengerang kesakitan.

Tetapi, kemudian sebuah sungai kecil mengalirkan airnya membelah Padang Rumput, membawa lumut hitam. Sekali lagi, burung-burung datang menaburkan benih-benih bunga. 

Setelah waktu yang cukup lama, aliran air itu menggeser bebatuan yang ada di Padang Rumput membentuk sebuah tebing. Di tepi-tepi tebing bergantungan beragam jenis bunga yang indah, termasuk bunga krisan, kesukaan Dewa Padang Rumput. Sebuah pohon besar tumbuh melindungi bunga-bunga itu dari sinar matahari. 

Padang Rumput telah berubah menjadi tebing yang indah sekali. Kini, si Padang Rumput menjadi tempat kesukaan Dewa Padang Rumput untuk beristirahat.



[Dongeng ini ditulis oleh Ralph Connor]



Bunga Cheri

Di suatu puri, hiduplah seorang bangsawan dengan putri tunggalnya yang jelita, bernama Manuella. Orang-orang biasa memanggilnya Putri Manu. Sejak kecil Manuella tidak memiliki ibu lagi. Ayahnya sangat menyayanginya. Segala keinginan Manuella selalu dipenuhi. Ini membuat Manuella menjadi sangat manja. Semua yang ia inginkan harus ia dapatkan. Dan ayahnya belum pernah menolak keinginan Manuella. Malah selalu segera mengabulkannya. 

Salah satu kegemaran Manuella adalah berganti-ganti pakaian. Dalam satu hari ia dapat berganti pakaian empat sampai lima kali. Di kamarnya terdapat enam lemari pakaian yang indah. Namun ia belum merasa puas. 

"Ayah, lemari pakaian Manu telah penuh. Buatkan lemari pakaian yang baru dan besar ya," pintanya pada suatu hari. 

"Tentu anakku. Ayah akan segera memanggil tukang kayu terpandai di negeri ini. Dan menyuruhnya membuat lemari pakaian di sepanjang lantai atas puri ini." 

"Oh Ayah! Manu tidak sabar menunggu lemari itu selesai. Dan mengisinya dengan pakaian-pakaian yang indah." 
Ayahnya tertawa sambil memeluk Manuella dengan penuh kasih sayang. Dibelainya rambut anaknya yang berwarna keemasan. Begitulah kehidupan Manuella dari tahun ke tahun.

Pada suatu hari di musim semi, ayahnya berteriak-teriak memanggil Manuella. 
"Manuella, kemari, Nak! Ayah ingin berbicara denganmu." 

Seminggu lagi hari ulang tahun Manuella yang ke 17. Ayahnya akan mengadakan pesta besar untuknya. Anak-anak bangsawan dari berbagai negeri akan diundangnya. Mendengar hal itu Manuella menari-nari gembira. 

"Ayah, di pesta itu Manu ingin memakai gaun terindah. Dan ingin menjadi putri tercantik di dunia." 

"Anakku, kaulah putri tercantik yang pernah Ayah lihat! Ayah akan segera mendatangkan para penjual kain. Juga memanggil penjahit terkenal untuk merancang gaun yang terindah untukmu." 

Keesokan harinya datanglah para penjual kain dari berbagai negara. Mereka membawa kain-kain yang terindah. Manuella sangat gembira. Setelah memilih-milih, ia menemukan selembar kain sutera putih, seputih salju. Sangat halus dan indah luar biasa. Seorang penjahit yang terkenal segera merancang, mengukur dan menjahit gaun yang sesuai dengan keinginan Manuella. Manuella sangat puas melihat gaun barunya. Segera dikenakannya gaun itu, lalu menari-nari di depan kaca. Rambutnya yang panjang terurai keemasan.

"Hm, kau sungguh putri tercantik di dunia. Setiap tamu akan kagum padamu nanti," gumam Manuella sambil meneliti apa lagi yang kurang pada penampilannya. Tiba-tiba ia sadar, tidak ada hiasan di kepalanya. Ia segera mencari ayahnya, 

"Ayah, Manu perlu hiasan untuk rambut Manu." 

"Anakku, kenakan saja mahkota emasmu. Cocok dengan rambutmu yang keemasan," kata ayahnya. 

"Akh, Manu bosan ayah.." jawab Manuella. 

"Bagaimana kalau mahkota berlian? Ayah akan segera memesannya jika kau mau," bujuk ayahnya. 

"Tidak, tidak! semua itu tidak cocok dengan baju dan rambut Manu" teriak Manuella. 

"Oh..anakku..mutiara yang dikenakan ibumu ketika ia menikah dengan ayah sangat indah, kau boleh memakainya nak..ayah ambilkan ya.."kata ayahnya dengan sabar. 

"Tidak. Manu ingin yang lain yang terindah," katanya sambil berlari menuju halaman. 

"Manuella, kembali anakku, sebentar lagi akan datang tamu-tamu kita" teriak ayahnya. Tapi Manuella tak mau mendengar ayahnya, ia berlari ke halaman yang dipenuhi dengan pohon-pohon cheri, dimana bunga-bunganya yang putih bersih memenuhi setiap ranting-rantingnya, sehingga cabang dan rantingnya yang berwarna cokelat hampir tak tampak lagi. 

Manuella berlari dari satu pohon ke pohon yang lain, dan tiba-tiba ia berpikir "Betapa indahnya bunga-bunga cheri ini, aku ingin merangkainya menjadi mahkotaku." Ketika tangannya akan meraih sebuah bunga, terdengarlah suara yang halus. 

"Jangan sentuh kami, jauhilah kami. Kalau tidak, kami akan mengubahmu menjadi bunga!" Manuella menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi ia tak melihat seorang pun. Ia berlari ke sebuah pohon yang lain, dan ketika ia akan memetik bunganya, terdengar lagi suara yang sama. 


Dengan penuh kejengkelan berteriaklah Manuella sambil memandang pohon itu, "Hai, dengar! Tak ada seorang pun di negeri ini yang dapat melarangku, dan semua orang di negeri ini tahu, segala keinginanku harus terpenuhi! Siapa yang berani melarangku?" 

Tiba-tiba bertiuplah angin dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara yang halus. "Dengar Manuella, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya. Tidak juga kau." 

"Bohong, bohong, selama ini segala keinginanku selalu dipenuhi, dan sekarang aku akan memetik bunga-bunga ini untuk mahkotaku, dan tak seorang pun berhak melarangku" teriak Manuella sambil menendang pohon-pohon disekitarnya. 

"Kau akan menyesal Manuella, jika tidak kau jauhi kami." 

Dan ketika tangan Manuella menyentuh sebuah bunga, berubahlah ia menjadi bunga, di antara bunga-bunga cheri yang lain yang ada di pohon itu. Ia menangis menyesali segalanya, tapi sudah terlambat. Ia melihat tamu-tamu berdatangan. Ia mendengar suara tawa tamu-tamunya, tapi ia tak dapat ikut serta. Ia menangis dan menjerit-jerit, tapi tak seorang pun mendengarnya. 

Hari semakin sore, lampu-lampu di seluruh puri dinyalakan, musik mulai diputar dan seluruh tamu yang diundang telah datang. Ayahnya bingung mencari Manuella diseluruh puri, kemudian ia bersama para pelayan mencari Manuella diseluruh halaman sambil berteriak. 

"Manuella..Manuella....dimana kau nak.." Manuella dapat mendengar suara ayahnya dan para pelayan yang berteriak-teriak memanggilnya. Ketika ia melihat ayahnya berdiri tepat di bawahnya, ia berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi ayahnya tak dapat mendengar suaranya dan ia mulai menangis, air matanya menetes dan jatuh ke kepala ayahnya. Manuella melihat bagaimana ayahnya mengusap air yang menetes di kepalanya, dan bergumam perlahan. 

"Akh ....mulai hujan, di mana engkau bersembunyi anakku.." Dengan menundukkan kepala ia kembali ke puri dan menyuruh seluruh pelayannya kembali karena dipikirnya sebentar lagi akan turun hujan. 
Setelah tamu terakhir meninggalkan puri, dan musik dihentikan, sang ayah diam termangu di depan jendela. Lampu-lampu puri dibiarkan menyala semua, karena ia berpikir anaknya akan kembali dan ia akan dapat dengan mudah melihat jalan menuju puri. 

"Anakku, diluar dingin. Dimana engkau nak...kembalilah anakku. Ayah sangat kuatir" gumam ayahnya seorang diri dengan sedih. Tiba-tiba bertiuplah angin yang membawa sura jerit Manuella "Ayah..ayah...tolong Manu ayah...tolong..." 

"Manuella...Manuella...di mana engkau nak, ayah datang...ayah akan segera datang nak" teriak ayahnya dengan penuh harapan. Ia segera membangunkan para pelayan untuk mencari Manuella di sekitar puri dan di seluruh halaman sekali lagi. Mereka mencari Manuella setapak demi setapak, tapi sampai pagi merekah, Manuella tak pernah ditemukan kembali. 

Sang ayah telah putus asa, dan ia berhari-hari hanya duduk di depan jendela, menanti angin datang yang kadang-kadang membawa jeritan anak tercintanya. Ia yakin itu suara anaknya, tapi ia tak pernah tahu dari mana suara itu sampai akhir hayatnya. ***